Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2011

31 Hari dan seterusnya...

Hari ini, kompetisi 31 hari menulis tinggal menghitung menit. Kehidupan “mungkin” akan kembali seperti sedia kala. Satu hal yang pasti, setelah ini, tak ada lagi aturan-aturan macam kewajiban posting 1 hari, 1 tulisan. Tak ada lagi denda Rp.20.000 bagi mereka yang tidak posting tulisan. Maka wajar ketika kompetisi ini sudah mendekati garis finis, sebuah pertanyaan besar muncul di otak saya. Setelah ini mau apa? Saya tak tahu pasti. Tapi yang jelas 31 hari menulis sudah melahirkan kebiasaan baru. Kebiasaan memposting tulisan tiap harinya. Kebiasaan untuk terus berpikir kreatif (menulis juga pekerjaan kreatif bukan?), kebiasaan untuk meluangkan waktu untuk sekadar menulis ditengah padatnya aktivitas. Yang jelas dalam sebulan ini, saya mendapatkan dua manfaat tak ternilai harganya. Karena menulis adalah tentang aktivitas berbagai, maka beruntunglah jika selama kompetisi ini, saya bisa merasakan kenikmatan tersebut. Menulis pada akhirnya memang untuk berbagi apa saja, berbagi ide,

Masih Sehari

Antara “masih” dan “tinggal”. Dua kata ini sebenarnya mengandung maksud yang sama, tapi mengandung “energi” yang jauh berbeda. Masih satu jam, masih segelas, masih segudang, dan masih-masih yang lainnya. Dia mengandung energi optimism. Lawannya : “tinggal”. Tinggal satu jam, tinggal segelas, tinggal segudang. Deretan ini memunculkan aura pesimis, ketidakberdayaan. Tapi tidak selamanya kata “masih” digunakan untuk ungkapan penuh optimis.judul saya di atas bisa seikit menjelaskan. “Masih sehari” yang saya maksud sudah barang tentu berkaitan dengan libur panjang di akhir pekan ini. masih sehari dan rasanya menunggu waktu sehari bukanlah waktu yang cepat. Mungkin di luar sana banyak orang mencela pemerintahan ini yang makin gemar membikin “cuti bersama”. Bersama kita cuti, itu selentingan yang makin populer. Tapi kali ini saya harus jujur. Saya sudah tak lagi peduli dengan “seringnya” pemerintahan ini membuat-buat kebijakan cuti bersama, toh pemerintahan ini juga sudah tak peduli denga

Selamat Jalan, 31 Hari menulis!

Waktu berjalan begitu cepat hingga tak terasa sudah sampai di penghujung mei. Itu artinya “kompetisi” #31harimenulis yang saya ikuti juga akan berakhir. sedih, satu kata ini cukup mewakili perasaan saya. Tanpa bermaksud sok “lebay”, saya patut merasa sedih karena setelah kompetisi ini berakhir, saya tak tahu akan bisa konsisten mem posting tulisan di blog atau tidak. Bila pada akhirnya hari esok tidak lebih baik dari sekarang, bukankah itu artnya sebuah bencana? Semoga yang demikian tidak terjadi. *** Berawal dari ketidaksengajaan, ketika saya memantau linimasa twitter saya. Linimasa saya kala itu ramai dengan hastag #31harimenulis. Kesan pertama tidak ada yang spesial, hingga pada akhirnya semakin ramai dibicarakan, membuat saya makin penasaran dengan hastag tersebut. Hingga sampailah pada sebuah simpulan, teman seangkatan saya, Awe berencana membikin kompetisi rally, sebulan penuh memposting sebuah tulisan tiap harinya di blog masing-masing. Singkat kata, satu hari, satu tuli

Matador Taklukkan Eropa (Lagi)

Gambar
Bukan karena dia adalah seorang yang revolusioner, lantas menjadikan seorang Karl Marx sebagai seorang yang tidak memiliki selera humor. Suatu ketika, penulis buku Das Kapital ini pernah berujar suatu saat nanti, dunia ini hanya akan menyisakan 5 raja. 1 Raja di Britania Inggris, sedangkan 4 sisanya terdapat di kartu remi. Satu hal yang dilupakan Marx, karena faktanya, sebuah Negara di peninsula Iberia masih menyisakan rezim monarkhi. Dialah Spanyol. Spanyol, Negara yang kaya dengan nilai sejarah. Saking bersejarahnya bangsa ini, kita dapat dengan mudah menemukan riwayat bangsa ini di buku-buku sejarah. Masih ingat dengan penaklukan berbagai benua? Selain bangsa Portugis dan Belanda, Spanyol adalah bangsa yang paling agresif menjelajah dunia. Nama-nama seperti Francisco Pizarro, Juan Díaz de Solís adalah beberapa nama yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Pizarro menaklukkan Ekuador, de Solis melanglang ke Argentina. Satu nama populer meski kelahiran Italia, Christoper C

Sutradara itu bernama Pelatih

Gambar
Saya adalah tipikal orang yang suka membuat analogi. Bagi saya, bermain analogi berarti melatih “kelenturan” otak kanan. Sekadar berimajinasi, kira-kira itulah yang saya inginkan. Kali ini saya juga ingin membuat sebuah analogi. Berhubung hari ini adalah harinya sepakbola, menjadi keharusan bagi saya menulis tentang sepakbola atau tulisan saya akan diabaikan. Maka, kesempatan kali ini, saya tertarik menganalogikakan sepakbola dengan permainan catur. Sepakbola bisa diibaratkan layaknya permainan catur. percaya? Kalau anda pernah bermain catur, tentu paham dengan yang saya maksud. Dalam sebuah permainan sepakbola, 11 pemain yang turun ke lapangan berada di bawah kendali penuh seorang pelatih. Pelatihlah yang menentukan seorang “A” harus menempati posisi apa, selama pertandingan harus berperan seperti apa, dan tidak ketinggalan harus menghindari berbuat apa. Hal yang sama berlaku di permainan catur. Bidak catur telah tersedia, masing-masing telah diatur berperan sebagai apa. Pada t