Zakat dan Solusi Ummat

Sejahtera adalah dambaan setiap orang. Menjadi mafhum bila setiap negara mengagendakan kesejahteraan rakyat sebagai salah satu tujuan penyelenggaraan Negara. Bila keberhasilan sebuah rezim dapat diukur dari sejauh mana mereka mampu mensejahterakan rakyatnya, maka kesejahteraan menjadi agenda yang tak lagi terelakkan.

Pun demikian dengan negeri ini. Indonesia, negeri ujung timur yang sudah merdeka selama 65 tahun, masih berjuang untuk meraih kesejahteraan yang didambakan. Menciptakan kesejahteraan umum dan menjamin keadilan sosial, itulah cita-cita pendiri negeri yang tercantum dalam pembukaan UUD’45. Rezim terus berganti, akan tetapi janji tak kunjung ditepati. Sedikit mengernyitkan dari ketika sebuah hamparan negeri yang bentagannya meliputi sabang sampai merauke dan di dalamnya terkandung sumder daya alam luar biasa, tak kunjung menjadi raja, sekalipun di negeri sendiri.

Inilah Sebuah fakta yang tidak terelakkan ketika terdapat 108,8 juta warga yang bertahan hidup kurang dari Rp 18.000 per hari pada tahun 2006 dan telah mencapai sekitar 121,7 juta warga pada 2010 (Kompas, 29 Maret 2011). Tidak sejalan dengan pernyataan penguasa negeri yang mengatakan, jumlah masyarakat miskin jumlahnya telah jauh berkurang. Menjadi lebih miris, mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan mayoritas beragama Islam. Hal yang harusnya dapat dihindari mengingat Islam tidak menghendaki pembiaran terhadap kemiskinan.

Kebijakan untuk Kaum Miskin

Kesejahteraan memang masih jauh panggang dari api. Maka apalah arti angka-angka pertumbuhan ekonomi mencapai kisaran 6 % per tahun, bila pada kenyataannya 70 % sirkulasi modal hanya berkutat di ibukota. Rakyat biasa tidak butuh janji surga karena yang dibutuhkan hanya pembelaan dan tindakan nyata untuk melindungi mereka. Maka ketika ada ide pembentukan Badan Jaminan Sosial, secercah harapan itu sepertinya mulai tiba.

Di tengah hiruk pikuk eksposure media terhadap kasus korupsi yang melibatkan elit partai dan pejabat publik. Salah satu isu yang turut menarik perhatian adalah terkait dengan UU SJSN dan RUU BPJS. Isu ini menyelinap diantara lautan berita yang tak henti-henti memberitakan kisruh korupsi yang melibatkan sekelompok elit.

Inti dari permasalahan yang diperjuangkan tidak jauh dari masalah kesejahteraan. Singkat cerita, melalui RUU BPJS, diharapkan ada badan yang menjamin hak-hak kaum yang marjinal (atau termajinalkan?). Mereka yang hidup di bawah garis kemiskininan, selayaknya mendapatkan jaminan sosial. Bila kaum kapitalis sudah dijamin dengan kekuatan modal dan berbagai privilege yang diberikan oleh pemerintah yakni berupa pelbagai kemudahan dalam menjalankan usahanya, selayaknya golongan tidak mampu mendapatkan jaminan sosial dari negara.

Kabar selanjutnya dari UU ini memang masih tidak jelas. Tarik ulur perihal beban nominal yang disandarkan kepada pemerintah menjadi penyebabnya. Akan tetapi, jauh dari permasalahan yang serba rumit tersebut. Berabad-abad yang lalu Islam telah memberi solusi terkait dengan pengentasan kemiskinan. Dialah terkait dengan masalah penyaluran zakat. Kewajiban yang hingga kini seakan dilalaikan banyak orang.

Indonesia merupakan Negara muslim terbesar di dunia. Bila tak kurang total jumlah muslimin di seluruh dunia mencapai angka 1,57 milliar orang, maka sekitar 200 Juta diantaranya bermukim di Indonesia. Potensi jumlah muslim inilah yang menjadikan Indonesia selalu menjadi aktor penting dalam percaturan politik dan ekonomi Internasional.

Begitu pula untuk masalah penyaluran zakat. Pada tahun 2011, Islamic Development Bank (IDB) telah melakukan sebuah riset terkait dengan potensi zakat di negeri ini. dan benar saja, angka yang muncul mencapai nominal yang luar biasa. Bila setiap mereka yang memeluk Islam mau menyalurkan zakat, tak kurang Rp 217 Triliun bisa dihimpun dari segenap muslimim di pelosok negeri. Jumlah ini setara dengan 20% angaran APBN untuk pendidikan. Bandingkan dengan nominal yang hingga kini hanya berkisar antara Rp 1,2 Triliun (Data Baznas-MUI).

Zakat di Indonesia

Dalam hierarki rukun Islam, zakat menempati posisi ketiga setelah Syahadat dan Shalat. Hal ini menunjukkan bahwa zakat memiliki urgensi yang amat penting dalam Agama Islam. Al Quran juga memberikan banyak penjelasan tentang zakat, tidak kurang dari 34 ayat dalam Al Qur'an menjelaskan pentingnya menunaikan zakat.[1] Dalam pemaknaan yang lebih dalam, Shalat merupakan bentuk penghambaan (Ubudiyah) langsung kepada Allah Swt, Puasa merupakan penyuciaan diri, sedangkan Zakat adalah bentuk penyucian terhadap Harta yang dimiliki oleh setiap muslim.

Lantas yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, mengapa potensi zakat di Indonesia masih belum optimal. Ada dua alasan yang bisa dijadikan penjelasan. Pertama, keengganan berzakat bermula dari ketidakpahaman atas kewajiban menunaikan zakat. Banyak dikalangan muslim saat ini yang tidak bisa mengetahui kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan terkait dengan masalah zakat. Apakah saya sudah wajib mengeluarkan zakat?, manakah harta yang harus dizakatkan? Adalah beberapa pertanyaan yang menggelayuti muslimin di negeri ini. ada kalanya mereka tidak berzakat bukan karena tidak mau, tetapi karena mereka memang tidak paham. Maka tugas dari lembaga amil zakatlah yang harus proaktif untuk memberikan pencerahan terkait masalah ini.

Kedua, peran Negara yang belum optimal. Dalam beberapa tahun terakhir muncul wacana untuk mengundangkan permasalahan zakat. Tidak lain agar terjadi sinergi antara pemerintah dengan lembaga amil dalam pelaksanaan penghimpunan dan penyaluran. Selain itu, aspek transparansi juga menjadi isu yang diwacanakan dalam peraturan ini. Bila regulasi sudah diperjelas, rasanya akan memudahkan ummat untuk menyalurkan kewajiban tanpa harus khawatir zakatnya tidak tersalurkan sesuai sasaran.

Mungkin pemerintah bisa belajar kepada negeri tetangga, yakni Malaysia. Pemerintah Malaysia menerbitkan aturan yang mengintegrasikan sistem zakat dengan sistem pajak. Di sana , zakat gunakan sebagai alat pengurang atas beban pajak yang sudah dibebankan. Uniknya, meski menggunakan sistem tersebut, jumlah muslimin yang menyalurkan zakat dan pajak dari tahun ke tahun terus meningkat.

Universalisme Zakat

Fenoma yang kaya dan yang miskin adalah ketetapan (Sunnatullah) yang sudah digariskan oleh Allah Swt. Maka sebagai seorang muslim, tentunya tak perlu ragu untuk menyalurkan zakat. Bukan lagi tempatnya berdebat masalah kesetaraan seperti yang diimpikan sosialisme. Tidak perlu mengumpat kepada mereka yang menguasai alat produksi seperti kritik yang selama ini dilontarkan atas kegagalan kapitalisme. Cukuplah sebuah nilai universal. Nilai itu berbentuk indahnya berbagi, sebuah keindahan yang berbalut dalam penyucian terhadap harta milik pribadi, akan tetapi berdimensi universal. Dialah berzakat.

Alangkah indahnya bila budaya memberi dimulai dari ummat Islam. Karena setiap kebaikan (meskipun sebiji dzarrah) begitu berarti. Maka layaknya nasehat dari Da’I yang pernah kondang namun popularistasnya mulai menurun “Mulai dari yang terkecil, mulai dari saat ini, dan mulai dari diri sendiri”. Sesederhana itulah setiap muslim memahami pentingnya berbagi.



[1] Ani Noviana, dalam makalah berjudul Zakat sebagai Misi Sosial dan Kemanusiaan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009