Syukur dan Kesederhanaan

Salah satu nasehat yang selalu saya ingat dari kedua orang tua adalah petuah tentang kesederhanaan. Setiap kali saya pulang rumah, ayah dan ibu saya selalu berujar demikian : urip kuwi ojo ndangak terus, tetep kudu ndelok ngisor (hidup itu jangan selalu melihat ke atas terus, tetap harus melihat ke bawah). Kalimat yang mudah diucap, tapi butuh usaha setengah mati untuk dipraktekkan.

Jika dipahami lebih dalam, maksud dari petuah tadi sebenarnya dapat dijelaskan dalam dua kata, apalagi jika bukan tentang rasa syukur dan kesederhanaan. Bagi saya, rasa syukur menuntun diri untuk selalu mengingat, bahwa segala sesuatu yang saya nikmati segalanya datang atas izin dari Sang Pemberi Rizki. Sedangkan kesederhaan membuat saya selalu berusaha untuk selalu membumi, tidak berlebih-lebihan, dan hidup apa adanya. Maka tidak salah jika di dunia ini dua perubahan yang paling saya takutkan adalah ketika saya sudah lupa bagaimana caranya bersyukur dan menjaga kesederhanaan.

Begitu susahnya menjaga rasa syukur dan hidup sederhana, hingga membuat saya perlu untuk belajar dari jalanan. Jalanan, bagi saya adalah potret terbaik miniatur dari warna-warni kehidupan. Dari jalanan, saya bisa belajar tentang banyak hal, tentang kesabaran, keadilan, berbuat baik kepada sesama, ketekunan, kesederhaan, dan masih banyak hal lain yang bisa dipelajari di jalalan.

Hingga akhirnya saya belajar betul tentang caranya bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan kepada saya. Saya bersyukur bahwa sejak lahir, saya dibiayai oleh orang tua saya untuk menikmati jenjang pendidikan hingga strata tertinggi (Universitas) karena faktanya banyak orang diluar sana yang tak seberuntung saya.

Saya bersykukur tidak pernah merasa kekurangan uang jajan karena ternyata diluar sana masih banyak orang yang berpikir “hari ini aku harus makan apa?”. Saya merasa bersyukur masih dimampukan membeli barang-barang yang saya inginkan, buku-buku yang saya idamkan karena jika kita mau jujur, tidak semua orang bisa merasakan apa yang sudah saya rasakan.

Yap, semua itu sebenarnya diawali ketika saya melihat foto ini :


Bocah ini harusnya bisa sekolah layaknya bocah-bocah lain di luar sana. atau mungkin bersenang-senang dengan teman sebayanya. tapi nasib yang membuat dia menjadi seorang kondektur cilik. Nasib pula yang membawa dia jauh dari kenikmatan masa kecil yang berhak dia rasakan, Lalu pertanyaan besarnya, nikmat mana lagi yang sudah saya dustakan padaMu ya Rabb?


foto diambil secara candid menggunakan ponsel pribadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009