Kisruh PSSI, Sepakbola Milik Siapa?
Bila ada sebuah kompetisi, audisi, atau penghargaan tentang organisasi olahraga mana yang paling “ruwet” di seluruh dunia, maka jawabnya mungkin adalah PSSI!. di dunia? Hey? Apa pasal? Apakah pernyataan saya terlalu lebay?
Saya rasa tidak. jika melihat fakta hari demi hari perihal segala sesuatu yang berkaitan dengan induk organisasi sepakbola Indonesia ini. Terlalu ruwet melebihi ruwetnya benang yang terlanjur kusut, hingga membuat orang yang mengikuti dinamika yang terjadi di organisasi ini, seketika akan mengernyitkan dahi. Kisruh yang terjadi terlalu berkepanjangan, hingga akhirnya memancing setiap orang untuk turut berkomentar.
Bermula dari kegagalan pelaksanaan kongres yang direncakan tanggal 20 mei kemarin, semua mata pun tertuju ke PSSI. Saya pun mencoba mencari jawabnya, hingga akhirnya kemarin malam saya menyaksikan sendiri betapa wagunya organisasi ini.
Alkisah, diceritakan bahwa pada hari kemarin bertempat di The Sultan Hotel, PSSI dijadwalkan menyelenggarakan kongres. Kongres ini mengusung agenda tunggal yakni pemilihan ketua umum, wakil ketua umum, dan anggota komite eksekutif. Kenapa agenda tunggal? Tidak lain karena tanggal 21 Mei adalah tenggat yang diberikan FIFA (induk organisasi persepakbolaan dunia) kepada PSSI, untuk memilih pengurus teras yang baru.
Kongres kali ini pun lain dari biasanya. Kisruh yang sudah dimulai dari era nurdin halid membuat FIFA perlu turut campur. Maka dibentuklan Komite Normalisasi. Secara sederhana, komite ini ditugaskan untuk mengawal pemilihan pengurus teras, sekaligus meredam konflik baru diantara para pengurus pusat, daerah, dan pengurus klub yang kerap terjadi di akhir kepengurusan Nurdin Halid.
Untuk mengawal komite ini, FIFA menunjuk langsung Agum Gumelar sebagai ketua komite. Jenderal purnawirawan yang juga pernah menjabat sebagai ketua PSSI ini dirasa punya kapabilitas untuk menjadi mediator atas segala kekisruhan yang selama ini terjadi di PSSI.
Harapan untuk mendapatkan pengurus baru yang mampu mengangkat PSSI nampaknya akan berjalan sesuai rencana ketika kongres dengan berbagai keterbatasannya resmi digelar. Hingga akhirnya mimpi itu musnah ketika saya melihat dengan mata kepala sendiri betapa kampungannya peserta kongres PSSI.
Seperti yang diketahui luas, di kongres itu muncul kelompok yang menamakan dirinya kelompak 78 (K-78). Mereka inilah yang sedari awal mengusung pasangan George Toisutta dan Arifin Panigoro-pasangan yang sedari awal tidak direstui FIFA untuk mencalonkan diri, tapi lucunya komisi banding PSSI justru masih meloloskan keduanya untuk melenggang ke pemilihan Ketum-waketum PSSI-. Angka 78 sendiri diambil dari jumlah total suara yang mendukung pasangan GT-AP.
George Toisutta seperti yang kita ketahui kini menjabat sebagai KSAD. Sedangkan Arifin Panogora adalah Taipan minyak dan energy yang namanya kembali dikenal luas karena usaha gigihnya menghidupi liga professional tandingan yang berlabel LPI (Liga Premier Indonesia). Secara kasat mata, sebenarnya tak ada masalah dengan pasangan ini. Tapi melihat “militansi” pendukung pasangan ini, sepertinya potensi ricuh di kongres jika keinginan mereka tidak terpenuhi sudah bisa diprediksi.
Benar dugaan saya, meski sudah dijelaskan sedari awal bahwa pasangan GT-AP dilarang mengikuti kontestasi pemilihan ketum dan waketum PSSI, tapi pendukung pasangan ini masih ngotot mencalonkan mereka. Hujan interupsi yang didalangi oleh pendukung pasangan ini pun tak bisa dihindari. Puncaknya, Agum yang menilai kongres sudah tidak berjalan secara kondusif memutuskan untuk menghentikan kongres.
Ketika mendengar berita itu, saya pun langsung terkejut. Bagaimana nasib dengan timnas merah putih di kualifikasi PD? Bagaimana nasib Persipura dan Sriwijaya FC yang sudah setengah jalan bertarung di AFC Cup? Tidak lupa dengan nasib timnas SEA Games? Bukankah akan menjadi lelucon bila timnas U-23 yang mewakili Indonesia di SEA Games, tidak bisa bertanding di negeri sendiri karena Indonesia mendapat sanksi dari FIFA?
Sekali lagi, Inilah yang sebenarnya membuat saya terheran-heran, dengan motif apa mereka sebegitu ngototnya mencalonkan kedua nama tadi. jika memang tujuan mereka adalah memajukan sepakbola nasional? Kenapa harus membuat kongres menjadi ricuh?
Tidak, saya yakin mereka tidak mencintai sepakbola. mereka hanya kebetulan manusia yang berlabel pengurus klub, pengurus daerah dll yang sebenarnya tidak mengerti sepakbola. jika seandainya mereka memang benar-benar mencintai sepakbola, nilai-nilai sportivitas akan terjiwai ke diri mereka. Bukan memaksakan kehendak layaknya politisi tak tahu malu yang berkantor di senayan.
Mereka hanya sekumpulan orang oportunis yang hanya mengejar rembesan uang dari pemodal yang sudah terlanjur berinvestasi ratusan milliar untuk membuat liga tandingan. Mereka inilah sekumpulan kutu loncat, yang hanya tahu mencari posisi paling aman untuk mempertebal kantung pribadi tanpa berpikir ke depan untuk kemajuan sepakbola nasional.
Percayalah, selama sepakbola hanya dimiliki oleh segelintir orang-orang macam tadi, layaknya cetakan buku LKS di bangku sekolah, yang berganti di pengurus PSSI pun hanya sampulnya saja, sedangkan isinya tak ada beda!
Mungkin memang harus diambil langkah ekstrem. Jika kesulitan menangkap Tikus di lumbung padi, bagaimana jika kita bakar sekalian lumbungnya? Saya pikir, itulah sejancuk-jancuknya cara untuk menyembuhkan PSSI…
Komentar