Kampusku (tak seperti yang dulu)



Bagi seorang mahasiswa yang menekuni ilmu sosial, menjalani kuliah selama lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Saya tidak akan mengeluh atas kondisi yang saya alami, karena pada kenyataannya, saya memang memilih untuk tidak tergesa-gesa menyelesaikan skripsi. Rencana menyelesaikan skripsi dalam tempo empat tahun saya pendam dalam-dalam, tidak lain karena saya merasa akumulasi pengalaman selama kuliah terasa belum maksimal. Hingga saya menyadari bahwa sepertinya saya harus segera melenggang dari kampus yang (sebenarnya) sangat saya cintai ini.

Sekitar lima tahun yang lalu, saya datang ke Yogyakarta sebagai mahasiswa baru jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Tidak ada kebanggan di kala itu, kecuali kebanggaan menjadi bagian dari kampus yang selalu didengungkan sebagai kampus kerakyatan. Meskipun pada awalnya tidak begitu mengetahui makna “Kampus Kerakyatan”, UGM sudah memberi kesan egalitarian yang mendalam. Belum lagi dengan suasana rakyat Yogyakarta dengan segala pluralitas yang ada di dalamnya, rasa nyaman langsung menguat ke dalam angan.

Bila kehidupan itu tak pernah sama, maka begitu juga dengan UGM. Lima tahun mengenyam kuliah di kampus ini, banyak sesuatu yang hilang dari kampus yang dahulu selalu saya banggakan. Pada hakikatnya, perubahan itu tidak akan pernah menjadi soal bila ditujukan untuk kebaikan. Akan tetapi, bila perubahan yang ada justru berlawanan dengan nilai-nilai luhur yang sudah ditanamkan di kampus ini, masihkah yang demikian layak untuk dibenarkan?


Sekadar menjadi refleksi. Biaya kuliah di kampus ini sudah kepalang mahal, PKL beberapa kali coba disingkirkan, dan terakhir eksklusivisasi kampus dengan penerapan kartu identitas kendaraan (KIK). kebijakan terakhir inilah yang membuat saya semakin sebal dengan rektorat. Ini namanya sudah terlanjur kebablasan. Setidaknya, itu yang sekarang saya rasakan.

Mereka yang duduk di kursi rektorat mungkin lupa, ketika peletakan batu pertama pendirian UGM, Bung Karno pernah berujar : “kampus ini didirikan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. sebuah ucapan simbolis, bahwa kampus ini memang didirikan untuk selalu berpihak kepada rakyat, kapanpun dan dalam kondisi apapun.

Bila pada akhirnya kampus justru menjadi ladang penghisapan uang rakyat, masih pantaskah kampus ini disebut kampus kerakyatan?! tentu tidak! selama simbol-simbol komersialisasi itu masih ada, selama itu pula kampus ini mampu menjadi "pelayan" yang baik bagi kepentingan rakyat.

Kampusku sayang, kampusku malang...kau memang bukan seperti yang dulu...seperti yang damba, ketika pertama kali tiba...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009