Javier Zanetti : Argentina menggenggam Italia (Part 2)
***
Tidak ada yang menyangka, pemain yang saat direkrut masih berusia 22 tahun itu akan menjadi kapten terbesar dari sejarah Inter. Zanetti muda hanyalah seorang pesepakbola yang awalnya menyimpan keraguan kala tawaran hijrah ke Italia justru datang dari Inter. Dalam sebuah pengakuan di buku Javier Zanetti : Capitano e Gentiluomo (Javier Zanetti : Captain and Gentleman), dia menceritakan pilihan hijrah ke Italia untuk menerima pinangan Inter menjadi keputusan yang teramat sulit.
Dikisahkan dalam buku itu, keluarga Zanetti adalah pendukung fanatik Independiente, klub yang ditahun 1960-an mendominasi berbagai kejuaraan, baik liga domestik Argentina maupun kompetisi kontinental (Copa Libertadores). Tahun 1964-1965 menjadi puncak kejayaan dari Independiente. Klub asal kota pelabuhan avellaneda ini merebut Copa Libertadores dalam 2 edisi secara berurutan, yakni tahun 1964 dan 1965. Disaat yang sama, Inter di bawah asuhan pelatih legendaris Helenio Herrera juga meraih prestasi yang sama, juara Piala Champion 2 kali secara berturut-turut, yakni 1964 dan 1965.
Akhirnya, kedua tim ini dipertemukan dalam ajang Piala Interkontinental, kejuaraan yang didesain untuk mencari juara sejati antara dua wilayah yang menjadi kiblat kekuatan persepakbolaan dunia. Tragis bagi Independiente, dalam dua kesempatan bertemu dengan Inter, semuanya dimenangi oleh Nerazzurri. Tahun 1964 Independiente menang 1-0 di kandang sendiri, akan tetapi takluk 2-0 ketika bertanding di Milan. Sistem playoff membuat kedua tim memainkan partai ketiga. Partai playoff yang digelar di Bernabeu kembali dimenangkan Inter. Skor 1-0 cukup menghempaskan raksasa Argentina. Di tahun berikutnya, pertemuan pertama di Milan Independiente kalah 0-3. Dipertemuan berikutnya gagal membalas kekalahan karena hanya bermain imbang 0-0 ketika berlaga di La doble visera.
Meskipun kala itu tidak menonton secara langsung, Zanetti tetap ikut merasakan aroma kesedihan yang dialami oleh Independiente. Ayah Zanetti selalu bercerita padanya tentang kekalahan menyakitkan dari Inter. Memori yang tidak mudah untuk dilupakan, begitu Zanetti melukiskan trauma yang dialami keluarganya.
Lantas, bagaimana bisa Zanetti bergabung dengan klub yang pernah “dibenci” oleh keluarganya? Semua bermula ketika Zanetti mulai mengikuti sepak terjang Inter di tahun 1980-an akhir. Kala itu, Inter dengan trio Jerman, Andreas Brehme-Lothar Mattheaus-Juergen Klinsmann membuat Zanetti terkesan. Mattheaus menjadi pemain yang selalu dinantikan Zanetti untuk selalu ditonton tiap pekannya.
Bagi Zanetti, Mattheaus menjadi role model terbaik ketika di lapangan. Dia pemain yang selalu tampil brilian ketika bermain. Apik dalam bertahan dan tajam dalam menyerang. Cerminan gelandang bertahan terbaik di zamannya. Saat itulah simpati kepada nerazzurri mulai muncul dalam hatinya.
Hingga akhirnya perputaran nasib pula yang membawanya berlabuh ke Giuseppe Meazza. Massimo Moratti, supremo baru Inter meminang Zanetti untuk bergabung ke Appiano Gentile, sekaligus menjadikannya pembelian pertama di era kepemimpinan Moratti.
***
Naluri Moratti memang tidak salah. Ada satu permata ditengah ratusan juta euro yang sudah dihabiskannya. Zanetti tumbuh menjadi pemain yang tak tergantikan. Dengan penguasaan bola yang mumpumi, Zanetti yang kita kenal adalah pribadi yang selalu memberikan performa kelas dunia di setiap partainya.
Salah satu pertandingan berkelas yang dipertontonkan Zanetti ketika berkostum Inter, tidak lain ketika final UEFA Cup tahun 1998. Sebiji gol Zanetti ceploskan ke gawang Lazio. Gol yang memberi kelegaan karena kala itu membuat kedudukan sementara berubah menjadi 2-0 untuk Inter. Masih teringat jelas dalam ingatan saya, bola pantul dari Ivan Zamorano di dorong keras oleh Zanetti ke pojok kiri gawang Lazio. Tendangan yang tak mampu diamankan Luca Marchegiani, kiper Lazio kala itu.
Musim 1999, peran Zanetti semakin tak tergantikan. Kapten sekaligus legenda Inter hidup kala itu, Giuseppe Bergomi resmi mengundurkan diri dari sepakbola Internasional. Ban kapten pun resmi berpindah, dari Bergomi menuju Zanetti. Status yang menguatkan Zanetti sebagai sosok yang tidak tergantikan. Tanggung jawab baru diemban seorang Zanetti, mengembalikan kejayaan Nerazzurri yang sudah satu dekade puasa gelar domestik.
Periode awal menjabat sebagai kapten bukanlah perkara yang mudah. Kesabaran seorang Zanetti diuji ketika Inter tiap tahunnya selalu dilanda ketidakstabilan. Prestasi yang tidak kunjung membaik membuat Inter kerap gonta-ganti pelatih.
Kondisi yang tidak kondusif pula yang membuat Zanetti nyaris hijrah ke Real Madrid. Tepatnya terjadi di tahun 2001. Kedua klub sudah mencapai kesepakatan harga, akan tetapi didetik-detik akhir, Zanetti memutuskan melakukan permintaan langsung ke Presiden klub untuk tidak menjualnya. Zanetti ingin tetap bertahan di Meazza. Hatinya masih berpaut untuk Inter.
Hingga akhirnya kesabaran Zanetti terbayar lunas. Skandal calcipoli menjadi titik balik kebangkitan Zanetti. Sejak dihukumnya Juventus yang turun kasta ke Serie B pada tahun 2006, Inter melesat menjadi kekuatan tak tertandingi di kompetisi domestik. 5 gelar scudetti direbut secara berturut-turut sejak 2006.
Puncak Prestasi yang diraih Zanetti dengan Inter terjadi tepat setahun yang lalu. Kala itu Inter menjadi tim pertama di Italia yang meraih treble winner dalam setahun. Dibawah asuhan Jose Mourinho, Inter berhasil menggondol 3 piala sekaligus, Liga Italia, Coppa Italia, dan Liga Champion. Prestasi ini masih dilengkapi dengan keberhasilan merebut Piala Dunia antarklub di penghujung tahun. Di final inter memukul wakil afrika TP Mazembe dengan skor mencolok 3-0.
Total tak kurang 15 piala sudah Zanetti sumbangkan untuk Inter. Catatan ini semakin manis ketika Zanetti tengah pekan lalu memainkan partai Profesional ke-1000 kala berbaju Inter. Partai coppa italia melawan Roma menjadi penanda il Tractore (sang traktor) masih enggan untuk berhenti berlari. Di usia yang tak lagi muda, 37 tahun, Zanetti tetap menunjukkan kilaunya sebagai professional sejati. Setidaknya tidak dalam waktu dekat.
ketika ditanya tentang kapan ia akan gantung sepatu. Zanetti dengan lugas menjawab, “saya hanya akan berhenti ketika klub sudah tidak lagi membutuhkan saya. Percayalah saya tidak pernah merasa lelah berlari. Yang bisa membuat saya lelah hanyalah anak saya. Saya begitu lelah ketika memberi perhatian padanya”. (inter.it)
Usia bagimu hanyalah sekadar bilangan, maka terus torehkan rekormu, Kapten!
Full Name Javier Adelmar Zanetti
DOB 10 Agustus 1973
Height 178 cm
Playing Position Full Back, Defensive Miedfielder
Caps 140 / 5 goals
Komentar