Javier Zanetti : Argentina menggenggam Italia (Part 1)

Dalam era sepakbola modern, satu alasan yang membuat seorang atlet berhenti dari dunianya adalah usia. Usialah yang menjadikan kedua kaki makin lambat dalam berlari. Usia pula yang menjadikan sekujur otot makin melemah, hingga tak jarang banyak diantara mereka terkena hantu injury (cedera).

Semua itu tidak lain karena sepakbola telah berubah. Sepakbola yang kita kenal saat ini bukanlah sepakbola yang mengedepankan teknik semata. Lebih dari itu, kekuatan fisik menjadi prasyarat yang tak mungkin diabaikan. Mereka para gladiator lapangan hijau terus dan terus berlari, menjalani ketatnya semusim kompetisi.

Sisi lain yang menjadikan sepakbola menarik yakni ketika mencampuradukkan sepakbola dengan masalah loyalitas. Seiring dengan berubahnya zaman. Sepakbola adalah tentang bisnis dan prestasi. Pemain datang dan pergi silih berganti, berpindah dari satu klub ke klub yang lain demi dua kepentingan sekaligus : Bisnis dan Prestasi. Maka menyaksikan sebuah pemain sepakbola berlama-lama dalam sebuah klub menjadi fenomena yang langka.

Maka beruntunglah kita yang masih bisa menyaksikan pemain seperti Ryan Giggs, Paul Scholes, dan Gary Neville. Mereka mengabdikan karirnya untuk Manchester United saja. Paolo Maldini dengan catatan rekor mengesankannya bersama AC Milan. Alessandro Del Piero yang 95 % karirnya dihabiskan di Juventus. Fransesco Totti yang karena kesetiannya, menjadikan dirinya Pangeran sebenarnya di kota Roma. Dan masih banyak lagi contoh yang bisa disebutkan.

Tulisan kali ini saya ingin mengupas seorang legenda, yang meskipun sudah dimakan usia akan tetapi penampilannya tetap mempesona. Dialah Javier Zanetti. Legenda hidup yang dimiliki oleh Internazionale Milan. Pemain yang karena loyalitasnya menjadikan dirinya sebagai pemain terbesar dalam sejarah sepakbola dunia. Cerminan kesetiaan yang akhirnya dibayar lunas dengan sederet prestasi yang menjadi bagian dari catatan hebat dalam karirnya.

***

Pada musim 1995, Internazionale Milan (Inter) resmi berpindah kepemilikan. Massimo Moratti, taipan minyak sekaligus putra keempat dari mantan Presiden tersukses Inter, Angelo Moratti, mengambil alih kepemilikan dari Ernesto Pellegrini, Presiden yang sebelumnya sudah bertahan di Meazza selama 11 tahun.

Era baru pun dimulai.Di bawah kepemimpinan Moratti, seketika Inter menjadi klub yang sangat royal dalam masalah pembelian pemain. Demi meraih prestasi instan, pemain bintang berbanderol mahal datang silih berganti menghiasi appiano gentile, markas Inter. Kedatangan Ronaldo dan Christian Vieri menjadi potret terbaik ambisi besar yang diusung Moratti. Keduanya saat itu menjadi pemain dengan transfer termahal di eranya.

Hingga kini, ratusan pemain pernah berkostum biru-hitam di era kepemimpinan Moratti. Akan tetapi, dari sekian ratus itu hanya satu yang berhak mendapatkan predikat perekrutan terbaik. Bukan Ronaldo, pemain yang kedua kakinya seakan mampu menyihir siapa saja yang melihatnya, hingga dia layak disebut il phenomenon. Bukan Vieri, pemain dengan gol terbanyak di era Moratti, predator tebaik di kotak penalty yang pernah dimiliki Inter. Bukan pula Julio Cesar, salah satu shot stopper terbaik saat ini. Pemain yang selalu memberi rasa aman di jantung pertahanan. Penghargaan itu hanya layak untuk seorang Javier Adelmar Zanetti. (mungkin) Kapten terbesar sepanjang masa, simbol kesuksesan Inter yang akan selalu dikenang berkat sederet prestasi yang tertulis dalam karir sepakbolanya.


Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Wonderkid FM 2010

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance