Buku


A book is the only place in which you can examine a fragile thought without breaking it, or explore an explosive idea without fear it will go off in your face. It is one of the few havens remaining where a man's mind can get both provocation and privacy. ~Edward P. Morgan

Siapa yang tak kenal dengan JK Rowling?! Penulis karya fiksi yang popularitasnya melejit berkat serial “Harry Potter” ini telah menyihir dunia dengan karya-karyanya. Total selama satu dekade ini, dia telah mengumpulkan sekitar 650 Juta Pounds hanya dari hasil menulis dan hak atas film-film yang diadaptasi dari versi novelnya. Di balik kesuksesan itu semua, mungkin sebagian dari kita tidak banyak yang tahu, jika dia mengawali tulisannya di dalam lembaran-lembaran tisu.

Ketika menulis skrip “Harry Potter”, Rowling hanyalah seorang janda yang baru jatuh miskin. Meskipun dia sering menghabiskan waktu luangnya di kafe-kafe, Rowling sekadar memesan air mineral atau secangkir kopi untuk menemani kesendiriannya. Bila pada akhirnya karya Rowling di bukukan dan tercetak dalam jumlah jutaan eksemplar, tentu tidak lain karena usaha tiada lelah dari seorang Rowling.

Di waktu dan dimensi yang berbeda, terdapat seorang sastrawan besar yang diasingkan di pulau buru. Tanpa melalui pembuktian di sistem peradilan yang jelas, dia dituduh menjadi bagian dari PKI, partai yang saat itu kadung dicap membahayakan keutuhan Negara. Dialah Pramoedya Ananta Toer. Salah satu sastrawan terbesar yang pernah dimiliki negeri ini. Satu-satunya wakil Indonesia yang pernah dinominasikan untuk meraih nobel sastra.

Dari balik terali besi, Pram menghasilkan tetralogi Pulau Buru, karya monumental yang hingga kini menjadi karya termasyur yang pernah dicipta oleh seorang Pram.

Sebagai seorang penikmat segala tulisan. Saya merasa beruntung bisa menikmati karya-karya dari berbagai penulis lintas generasi. Sejenak saya berpikir, apa jadinya kalau setiap karya tulisan itu tidak dibukukan?! Layaknya sebuah karya riset, sebagus apapun sebuah riset tak akan ada gunanya bila karya itu hanya mengendap di rak-rak perpustakaan dan tidak dipublikasikan. Begitu pula karya sastra, semua karya, sehebat apapun tak akan ada gunanya bila tidak dibukukan.

***

Bagi seorang mahasiswa yang mengambil studi komunikasi, tak ada alasan bagi saya untuk tidak membaca. Praktikum bagi “anak social” adalah berdiskusi, sedangkan alat ujicobanya tidak lain adalah buku. Sudah barang tentu, tak ada ada diskusi yang baik tanpa memulainya dengan membaca buku. teman saya pernah berujar sinis, untuk apa membuang-buang waktu jika yang terucap sekadar pernyataan yang meraba-raba dan tidak ada sumbernya.

Logika yang masuk akal bagi saya, bila berdiskusi masalah agama saja menggunakan dalil-dalil yang teruji kebenarannya, kenapa jika melakukan diskusi ilmiah tidak menerapkan hal yang sama?

Ah..saya mungkin bukan seorang Tan Malaka yang rela tidak makan asal dia mampu membeli buku yang diinginkannya. Bukan pula seorang Karl May, sastrawan Jerman yang mampu memukau dengan karya fiksi penuh dengan imaji masa lampau karena bank data berupa buku. yang bisa saya lakukan hanyalah mengoleksi buku semampu saya. Setidaknya, itulah iman terendah untuk menghormati buku, sang sumber ilmu, sekaligus jendela untuk menjelajah kebesaran alam semesta.

*photo : koleksi Notebook

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Wonderkid FM 2010

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance