Berkelakar dengan Menulis
Setiap orang pasti mempunyai idola. Mereka yang suka bermain sepakbola, mungkin akan mengidolakan David Beckham, Lionel Messi, atau Cristiano Ronaldo. Seorang yang suka menulis fiksi, mungkin akan menjadikan Shakespeare, Leo Tolstoy, Agatha Christie, atau nama-nama beken yang lain sebagai orang yang berpengaruh dalam hidupnya. Sedangkan seorang musisi, nama-nama seperti Mick Jagger, Fredy Mercury, atau Chris Martin mungkin selalu menjadi role model. Maka begitu juga dengan saya. Sebagai seorang yang sedang “belajar” menulis, saya sangat dan sangat mengidolakan Almarhum Mahbub Junaedi.
Mahbub Junaedi (kenal?) Nama yang mungkin asing bagi sebagian generasi masa kini, tetapi selalu dikenang sebagai jurnaslis sekaligus sastrawan terbaik di zamannya. Nama beliau mungkin tidak seharum Rosihan Anwar, wartawan yang di sepanjang hidupnya konsisten menghasilkan karya-karya obituari bagi berbagai tokoh di negeri ini.
Tidak juga sepopuler Goenawan Mohammad, jurnalis sejuta persepsi, yang namanya lebih dikenal oleh mahasiswa generasi 2000-an. Tapi satu hal yang membuat saya selalu terkesan (dan ingin meniru) dengan sesosok Mahbub Junaedi adalah kemampuannya berkelakar dengan tulisan.
Menjadi sebuah kebetulan jika saya berkanalan dengan tulisan Mahbub Junaedi. Berawal dari sebuah rangkaian kunjungan berlabel studi perspektif pada tahun 2009 yang lalu, maka sampailah saya dan rekan-rekan mahasiswa ilmu komunikasi UGM di salah satu institusi media terbesar di Indonesia, Kompas Gramedia Group.
Layaknya kunjungan resmi institusi akademik pada umumnya, menjadi sebuah “adat” bagi tuan rumah untuk memberi kenang-kenangan kepada para mahasiswa. Salah satu oleh-oleh yang kami terima adalah sebuah buku. Buku ini berjudul Kolom demi Kolom Mahbub Junaedi, sebuah kumpulan tulisan kolom Mahbub Junaedi di surat kabar Kompas. Buku inilah yang menjadi pintu masuk perkenalan saya dengan seorang Mahbub Junaedi.
Awalnya tidak ada yang spesial, hingga pada akhirnya saya simak satu persatu tulisan beliau. Setelah melewati beberapa tulisan nyeleneh di buku itu, saya hanya bisa berucap dalam hati…
“wow! Ini..ini…penulis seperti ini yang saya rindukan! Penulis yang tidak hanya bisa berargumen dengan mengutip pernyataan Professor, Doktor, dan cerdik pandai lainnya. Lebih dari itu, tulisan ini sekilas terlihat remeh, tapi substantif dan memuat nilai yang universal!” meminjam perkataan Sudjiwo Tedjo, Tulisan di buku itu juanncukk sekali!
Terkadang beliau mengangkat tema yang serius, terkadang juga mengangkat tema yang diabaikan banyak orang. Uniknya, apapun permasalahan yang diangkatnya selalu menghadirkan keunikan tersendiri. Satu hal yang membuat tulisan beliau makin spesial, selera humornya yang tinggi. Kritik dalam bingkai humor membuat tulisannya selalu memikat.
Ahhh..Seketika saya langsung jatuh cinta dengan Alm.Mahbub Junaedi!
***
Salah satu kelakar beliau yang selalu saya ingat adalah ketika dia berbicara tentang politik dan DPR. Pada tahun 1980-an, beliau menulis kolom menarik bahwa cara termudah mengenalkan politik pada anak-anak Anda adalah dengan mengajaknya ke Kebon Binatang. Kebuh Binatang? Apa hubungannya?
Ternyata kolomnis legendaris itu hanya ingin berujar sekaligus menunjukkan kepada pembacanya, bahwa perilaku para politisi mirip-mirip binatang. Beliau ingin menyadarkan politik itu dipenuhi para pemain watak dan di kebun binatang, kita bisa menemukan berbagai watak layaknya yang terdapat di panggung politik. Singkat kata, jika ingin mengetahui apa itu politik, silakan melakukan studi perbandingan ke Ragunan, Gembira Loka, Taman Jurug, Wonokromo, Taman Safari Puncak, dan sejumlah kebon binatang lainnya! Kontekstual sekali dengan masa sekarang, begitu pikir saya.
Kelakar semacam inilah yang saya rindukan. Saya rindu kepada penulis yang dalam setiap tulisannya bukan sekadar layak untuk dibaca, lebih dari itu mampu menginspirasi orang lain. Penulis yang selalu menghadrikan kegelisahan, tanpa harus bergelisah ria dengan mengurai cerita-cerita muram. Penulis yang dengan kejernihan berpikirnya, mampu menghadirkan banyak persoalan yang sebenarnya banyak dilupakan sebagian besar orang.
Tapi dengan berkelakar melalui tulisan, maka semuanya akan terlihat lebih mengena. Karena hidup memang tak harus serius. mengkritikpun ada seninya, dan seni itu saya pikir selalu ada di diri Mahbub Junaedi.
Why So Serious?
Komentar