Sepakbola dan Kejujuran : Solusi Sepakbola Nasional

Industri sepakbola pada dasarnya adalah sebentuk menara gading. Dengan dalih semangat Olimpiade, olahraga –termasuk sepakbola di dalamnya- membangun kerajaan besarnya dengan benteng-benteng kokoh yang menihilkan intervensi pemerintah. Dengan kuasa penuh dalam pengelolaannya, maka menjadi lumrah bila sepakbola pada sisi tertentu menjadi milik “swasta”. Hal ini sejalan dengan statuta yang ditetapkan FIFA. Induk organisasi sepakbola dunia ini “mengharamkan” adanya intervensi pihak ketiga dalam setiap kebijakan pengelolaan di sepakbola.

Cerita menjadi berbeda ketika olahraga menjadi urusan Negara. Kasus seperti ini biasa terjadi di Negara berkembang, ketika olahraga belum memasuki fase industrialisasi yang mapan. Pun demikian dengan fenomena yang terjadi di Indonesia. Di negeri ini, sepakbola belum sepenuhnya menjadi industri yang profesional. Tengoklah ketergantungan klub-klub peserta liga Indonesia yang masih bergantung kepada kucuran APBD untuk menjaga keberlangsungan klub. Atau PSSI yang mengemis dana Trilyunan ke DPR untuk “menghidupi” roda organisasi. Karena menggunakan uang rakyat, maka sudah selayaknya pengelolaan sepakbola tidak bisa serampangan. Di dalamnya harus ada mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Kepada siapa harus bertanggung jawab? Jawabnya adalah kepada rakyat.

Minim Prestasi

Lantas dengan cara pandang seperti apa, kita melihat semakin menukiknya prestasi Tim Nasional Sepakbola dalam lima tahun terakhir ini? Salahkah bila rakyat menuntut prestasi dari uang yang seharusnya juga menjadi hak mereka? Ketika elit di organ PSSI makin bebal terhadap kritik dari luar, publik pencinta sepakbola tanah air pun semakin dibikin kesal. Seakan tidak pernah belajar dari sejarah, pengurus induk organisasi sepakbola nasional tersebut selalu meletakkan setiap tanggung jawab kepada pihak eksternal, ketika prestasi yang diharapkan tidak kunjung datang.

Tentu masih hangat dalam ingatan, ketika untuk pertama kalinya sejak tahun 1996, Pasukan Merah Putih gagal melangkah ke putaran Final Piala Asia. Seperti yang kita ketahui, Piala Asia akan dihelat tahun depan di Qatar. Kegagalan ini melengkapi buruknya prestasi Timnas, yang sebelumnya babak belur di SEA Games Laos. Secara mengejutkan saat itu Timnas dipermalukan oleh Laos. Tim yang secara tradisi selalu dipukul telak oleh Timnas.

Tersingkir di putaran grup sekaligus pulang dengan tangan hampa, lagi-lagi menjadi kado yang diberikan kepada rakyat Indonesa. Dapat ditebak, pasca rentetan tersebut, PSSI dengan entengnya mengkambing hitamkan jeleknya mental para pemain, mutu pelatih, hingga pembinaan di level klub sebagai biang dari keringnya prestasi Timnas.


Olahraga dan Kejujuran

Albert Camus, mantan Kiper sekaligus peraih nobel sastra pernah berujar demikian : “ Tentang moral dan kewajiban manusia, saya mendapatkannya dari olahraga”. Olahraga, menurut Camus tidak sekadar kompetisi antar manusia yang mempunyai tujuan akhir mencari pemenang dan pecundang. Lebih dari itu, nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam olahraga, telah mengajarkan nilai-nilai universal kemanusiaan yang begitu berharga. Nilai-nilai sportivitas, kejujuran, kerja keras adalah beberapa nilai yang diajarkan olahraga.

Bila olahraga pada dasarnya punya cita-cita mulia, bagaimana jadinya bila olahraga justru dicermari oleh nilai-nilai kecurangan yang menistakan? Andrew Jennings, seorang penulis yang juga aktif sebagai documentary filmmaker, pernah menulis buku yang membuka perspektif baru terhadap korupnya dunia sepakbola. Dalam bukunya, Foul! The Secret World of FIFA: Bribes Vote Rigging and Ticket Scandals. Jennings secara gamblang menjelaskan bahwa FIFA tak ubahnya menjadi sarang penyamun, sarat dengan praktik kolusi. Nilai yang jauh dari cita-cita olahraga. Tesis Jennings nampaknya menjadi nyata, ketika pekan ini FIFA dihebohkan dengan skandal penjualan suara dalam penentuan tuan rumah Piala Dunia.

Entah menjadi dosa turunan. Pelbagai kecurangan tadi juga mendarah daging di negeri ini. Kejujuran bak masih jauh panggang dari api. Dari pusat hingga daerah, baik pengurus PSSI, klub, hingga perangkatnya, tidak pernah jujur dalam mengurus sepakbola. Jika mereka jujur, harusnya pengurus PSSI mengakui bahwa dalam 6 tahun terakhir di bawah rezim Nurdin Halid, sepakbola Indonesia justru berada pada level titik nadir. alangkah lebih bersahaja jika mereka mundur dari kekuasaan, toh semua orang tahu mereka tidak paham bagaimana mengelola sepakbola. Jika pengurus PSSI jujur, tentunya tidak akan memberi janji surga dengan menjanjikan diri menyelenggarakan Piala Dunia, sedangkan kualitas kompetisi dalam negeri begitu mengecewakan.

Jika pengelola klub mau jujur, tentunya mereka akan mengelola uang rakyat secara hati-hati, dan tidak mengumbarnya untuk membeli pemain asing yang tidak jelas kualitasnya. Jika pengurus klub jujur, tentu tidak akan berani mencoba memberi suap, untuk sekadar membeli “prestasi”. Bila korps perwasitan jujur, tentunya tidak akan sudi menerima sogokan, karena yang demikian jelas menghinakan dan memalukan.

Maka jika seluruh aspek yang terlibat di sepakbola nasional mau bertindak jujur, akan lebih mudah dalam mengelola olahraga ini. Seperti kata kolumnis sepakbola nasional, Yesayas Oktavianus, “berharap perubahan datang dari atas (PSSI-Red) pada masa ini adalah kemustahilan, jalan yang terbaik adalah memulai perubahan dari bawah”. Ibarat diagnosa, Penyakit sepakbola telah terdeteksi, dan obat telah ditemukan, tinggal bagaimana melakukan penyembuhan sesuai dengan metode yang benar-benar jujur, sesuai dengan jalan yang ditetapkan.


Achmad Faisal Amrie

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM

Koordinator Forkom Dema Fisipol UGM

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009