Kekerasan yang menjadi Banal


Dalam beberapa pekan terakhir, pemberitaan tentang kekerasan telah menyita perhatian publik. Media, baik cetak maupun elektronik, nasional dan regional, masing-masing diantara mereka memberikan porsi yang berbeda dari biasanya. Tidak lain karena gelombang kekerasan dan kejahatan, terjadi silih berganti, tumbuh subur layaknya cendawan di musim hujan. Dimulai dari kerusuhan di Pati yang berakibat pada perusakan fasilitas umum (16/9), konflik etnis di Tarakan (26-29), pertikaian di ampera (konflik Blowfish), Jakarta (29/9), dan yang terbaru sengketa tanah di buleleng (6/10).

Kekerasan yang bermuara pada tindak kriminal itu menjadi gambaran terkini, begitu mudahnya setiap warga di berbagai belahan negeri ini, untuk disulut dan kemudian terlibat dalam konflik yang bernuansa kekerasan. Tentunya tidak sekadar menimbulkan keresahan yang mendalam, karena faktanya pemicu dari pelbagai kerusuhan dan kekerasan tersebut bermula dari hal-hal yang sepele. Lebih dari itu, menjadi penting karena setiap kerusuhan dan kekerasan tadi bersumber dari konflik pribadi merembet ke konflik massa yang berakibat jatuhnya korban jiwa. Seakan menggugat nalar dan kejernihan dari hati nurani, konflik-konflik tadi membutuhkan penjelasan yang tidak sederhana.

Negeri kekerasan

Sejarah mencatat bahwa negeri ini mempunyai catatan kelam dengan peristiwa kerusuhan dan kekerasan. Kerusuhan, kekerasan, dan pembunuhan menjadi warna politik di Indonesia, terutama sejak 1965. Tragedi G30S, peristiwa Tanjung Priok, penyerangan 27 Juli, tragedi Mei 1998, dan pelbagai kasus peledakan bom di Indonesia, menjadi bagian dari pelbagai kekerasan yang tidak henti-hentinya terus berulang. Ketiadaan sangsi hukum, menjadikan ketumpulan hati nurani semakin menemukan persembunyiannya.

Lantas, yang menjadi pertanyaan besarnya adalah mengapa kekerasan ini menjadi jamak terjadi di masyarakat? Manakah yang salah, sistem atau aktor? Kemudian benarkah keterlibatan individu dalam kekerasan karena dorongan pribadi atau karena diposisikan oleh “hal” di luar dirinya? Dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, gagasan Hannah Arendt banyak membantu. Telaah Arendt yang mencoba menggali relasi antara kekerasan dan kekuasaan negara, dapat dijadikan alat analisis untuk membedah menularnya kekerasan negara pada masyarakat. Telaah Arendt menjadi kontekstual bila dikaitkan dengan histiografi kerusuhan dan kekerasan di negeri ini.

Dari kekerasan negara ke masyarakat

sebelum memakai gagasan Arendt, perlu kiranya memahami terlebih dahulu bagaimana kekerasan negara bisa menular ke masyarakat. Haryatmoko (dalam Pitaloka, 2004 : vi), menyebutkan setidaknya ada empat cara yang digunakan penguasa untuk mewujudkan kekerasan negara. Pertama, represi yang dilakukan secara langsung oleh aparat negara dengan berbagai sarana koersifnya. Kedua, melatih paramiliter menjadi kelompok setia kepada penguasa untuk melakukan tugas-tugas kotor (kriminal) dengan membungkan, mengintimidasi, memeras, meneror, menculik, sampai membunuh. Ketiga, melatih para kriminal (preman) untuk melaksanakan proyek insidental seperti kerusuhan, penculikan, atau pembunuhan. Untuk menghilangkan jejak, para preman itu akan dihabisi setelah melaksanakan tugas. Keempat, menciptakan konflik horisontal antarkelompok masyarakat yang berbeda etnis/agama. Konflik horisontal membutuhkan kondisi matang. Maka perlu rekayasa, agar terjadi radikalisasi kelompok tertentu. Dengan begitu konflik akan mudah tersulut.

Dengan berbagai praktik kekerasan tersebut, negara (penguasa dan aparatnya) telah menularkan kekerasan kepada masyarakat. Kriminalisasi politik dan politisasi kriminalitas mendorong masyarakat untuk melakukan kekerasan seperti yang dipraktikan oleh negara. Akhirnya, ketumpulan nuranilah yang membuat pelaku kekerasan dapat bertindak menyimpang seperti tanpa menanggung beban moral. Mereka itulah seperti yang dijelaskan oleh Arendt, merupakan “individu massa” yang tidak punya kepribadian lagi, mudah diprovokasi, diadudomba, dimoblisisasi untuk melakukan kekerasa, kerusuhan, bahkan sampai pembunuhan.

Banalitas Kejahatan

Secara harfiah, kata “banal” dapat diartikan wajar, biasa, dan dangkal. Dengan demikian banalitas kejahatan (banality of evil), seperti yang dijelaskan oleh Hannah Arendt merupakan kejahatan yang dilakukan dalam skala raksasa, yang tidak dapat ditelusuri pada kegilaan, patologi, atau keyakinan ideologi sang pelaku (Arendt, 2003 : 159). Dengan demikian, “biasa” yang dimaksud disini tidak berarti kejahatan kekerasan yang dilakukan merupakan kejahatan biasa, tetapi kejahatan yang dianggap biasa oleh sang pelaku yang dangkal dalam berpikir dan menilai (Pitaloka, 2004 : 112).

Lantas, apakah yang menjadi latar belakang dari banalitas kejahatan? Arendt menyebut setidaknya ada tiga latar belakang terjadinya banalitas kejahatan. Pertama, kejenuhan individu dalam hidup akibat kesepian yang lahir dari modernitas. Masyarakat modern cenderung mengalami atomisasi yang pada akhirnya mudah dimanipulasi. Dengan kesepian yang dialaminya, menyebabkan hilangnya akal sehat. Maka kebenaran yang sesuai dengan kaidah logika menjadi sandaran hidupnya, menyebabkan manusia tercerabut dari realitas. Poin pertama ini memunculkan poin kedua, yakni pelarian diri dari masalah akibat ketumpulan nurani dan kedangkalan berpikir, tidak lain karena seseorang tidak berani mengambil keputusan dari nuraninya. Ketiga, banalitas kejahatan lahir sebagai warisan dari rezim totalitarian.

Bila kejahatan menjadi banal, hanya kebaikan hati nurani yang bisa mencegahnya.

Achmad Faisal Amrie

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009