Media dan Upaya Resolusi Konflik Ciketing

Insiden ini bermula di Bekasi. Ahad (12/9) yang lalu, ketegangan yang terjadi antara Jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan Forum Umat Islam (FUI), berujung pada jatuhnya korban di pihak HKBP. Penatua Hasian Lumban Toruan Sihombing dan Pendeta Luspida Simanjuntak mendapatkan penganiayaan, hingga akhirnya harus mendapatkan perawatan medis. Kontroversi pun pecah. Isyu ini dengan cepat menjadi isyu nasional sekaligus menenggelamkan isyu konfrontasi Indonesia-Malaysia, yang sebelumnya terlebih dahulu menyita perhatian publik.

Wacana yang berkembang di media pun berkembang dengan liarnya. Mulai dari gugatan atas toleransi antar umat beragama dan runtuhnya nilai-nilai kebangsaan kita, hingga mengalir derasnya wacana pencabutan SKB 2 menteri yang dinilai tidak relevan dengan hakikat kebebasan beragama. Pada kesempatan kali ini, penulis tidak akan berfokus pada isyu-isyu yang pada gilirannya justru kontraproduktif dalam usaha resolusi konflik antara kedua pihak yang bertikai. Penulis lebih tertarik untuk memaknai peran media, kaitannya dengan pemecahan masalah yang terbilang sentimentil ini.

Berita dalam bingkai Media

Keberadaan media pada dasarnya adalah untuk menjalankan fungsi imperatif. Dia ada karena memenuhi kebutuhan khalayak atas informasi. Media dalam konteks ini berfungsi untuk menghubungkan khalayak dalam dimensi ekonomi, politik, dan kultural. Kaitannya dengan kebutuhan khalayak akan informasi, maka menjadi penting untuk melakukan verifikasi. Tidak lain karena tidak setiap fakta bisa diolah, untuk kemudian disampaikan menjadi sebuah berita.


Dalam dunia jurnalistik, muncul pameo : “bad news is a good news”. Berita yang mengandung sensasionalisme menjadi menarik untuk disajikan. Sekecil apapun sebuah kontroversi, bila diliput dan diberitakan oleh media, akan berubah menjadi konflik yang lebih besar (Tichenor et.al, 1980 : 119). Lebih lanjut, dalam buku Community conflict and The Press itu, Tichenor menilai bahwa efek psikologis pemberitaan konflik jauh melebihi apa yang bisa dicapai dalam konflik itu sendiri. Tidak lain karena efek pemberitaan media menghadirkan dua sisi ambivalen : mempertajam atau sebaliknya, mereduksi konflik.


Terkait dengan kategori tersebut, Andrew Arno (dalam Nunung, 1993 : 3) menyebut media dalam berita konflik dapat berada pada 3 posisi. Pertama, sebagai Third Party. Media dalam konteks ini berposisi hanya sebagai penyaji berita dan tidak berpihak pada salah satu pihak. Dengan menyampaikan isyu dalam berbagai perspektif, media memiliki peluang untuk menjadi mediator atau pengarah penyelesaian konflik. Kedua, Diminisher, yakni media berperan meredakan suhu konflik. Secara sengaja media meniadakan isyu perihal konflik yang sedang terjadi. Ketiga, Intensifier, media berperan untuk menyuarakan kepentingan dari salah satu pihak yang berkonflik. Secara tidak langsung, media berafiliasi pada salah satu pihak yang bertikai.

Lantas yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, berada di posisi manakah wajah media di negeri ini, terkait dengan konflik yang melibatkan HKBP-FUI? Jawabnya mungkin beragam. Akan tetapi penulis memilih opsi media berperan sebagai mediator dalam konflik. Sebagai pengarah konflik (conflict resolution), media setidaknya berpotensi untuk meredam gejolak konflik dalam skala lebih besar dimasa yang akan datang.

Media dan Resolusi Konflik

Dalam berita konflik, keberpihakan merupakan sebuah keniscayaan yang sulit dihindari. Akan tetapi keberpihakan yang dimaksud dalam jurnalisme adalah keberpihakan terhadap kebenaran. Seorang jurnalis professional sudah selayaknya tidak berpihak kepada kepentingan salah satu pihak yang bertikai. Dengan kata lain, loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (Kovach & Rosenstiel, 2004 : 58). Dalam jurnalisme, kebenaran terlalu mahal untuk dikorbankan.


Terkait dengan resolusi konflik melalui media, maka penerapan jurnalisme damai mutlak dibutuhkan. Seperti yang disampaikan oleh Iwan (dalam Rahayu ed., 2005 : 156), jurnalisme damai menjadikan seorang jurnalis menjadi bagian dalam usaha pemecahan konflik. Jurnalisme damai berfungsi strategis guna memetakan konflik, mengidentifikasi pihak-pihak yang bertikai, menganalisis tujuan-tujuan mereka, dan membicarakan informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus.


Pemberitaan media dalam paradigama jurnalisme damai lebih difokuskan untuk mencari inisiatif-inisiatif solusi dan rekonsiliasi sekaligus mencegah terjadinya kekerasan baru di masyarakat. Jurnalisme damai tidak ditujukan untuk menyembunyikan fakta, lebih dari itu merupakan usaha untuk menyampaikan pemberitaan yang berimbang.


Jika begitu adanya, jurnalisme dimaknai bukan sebagai alat pengumbar sensasionalisme belaka. Namun, kemanfaatan terhadap kehidupan manusia menjadi tujuan utamanya.

Achmad Faisal Amrie

Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UGM

Koordinator Forkom Dema Fisipol UGM

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009