Demokrasi Minus Keadilan Sosial

Lebih dari satu decade sejak runtuhnya rezim orde baru, sejak itu pula bangsa ini mengalami transisi dari rezim otoritarian menuju system pemerintahan yang lebih demokratis. Belenggu Orba yang identik dengan sentralisme kekuatan politik, secara kasat mata mampu membawa negeri ini pada stabilitas di bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berjalan mulus, dan potensi goncangan ekonomi relatif dapat dikendalikan. Akan tetapi, karena yang ada hanyalah stabilitas “semu”, yang terjadi adalah penumpukan kapital yang berpusat di Ibukota dan berputar pada lingkaran pemodal yang berkroni dengan penguasa. Pembangunan yang mencita-citakan kesejahteraan bagi kehidupan bangsa belum terealisasi, karena pembangunan tidak terjadi secara merata. Yang demikian tidak lain karena terjadi karena perselingkuhan antara oligarki penguasa dengan kaum pemodal yang terus mereproduksi persekongkolan di bidang ekonomi.


Satu dekade telah berlalu, pasca krisis ekonomi hebat di tahun 1998, maka diskursus pun beralih pada pembangunan kembali ekonomi yang telah luluh lantak. System demokrasi menjadi pilihan pada masa masa transisi ini. Pergantian rezim yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto, menciptakan kesempatan luas bagi terbentuknya lembaga-lembaga demokrasi. Dua factor melatarbelakanginya (Hiariej (ed), 2004 : 45) . Pertama, ada anggapan lemahnya aturan norma demokrasi terjadi karena superioritas dari lembaga eksekutif, yakni Soeharto itu sendiri. Dengan jatuhnya Soeharto, akan memungkinkan adanya formasi baru dari prosedur dasar demokrasi seperti pemisahan kekuasaan dan mekanisme check and balance. Pada akhirnya, akan terjadi perbaikan dalam system kepartaian dan pemilu. Kedua, krisis financial dan kegagalan ekonomi telah memaksa pemerintah untuk melakukan reformasi pasar. Dalam praktiknya, reformasi ini menghendaki terbentuknya Good Governance yang dianggap kompatibel dan sesuai dengan keinginan pasar. Good Governance sendiri mensyaratkan tranparansi dan akuntabilitas birokrasi. Hal yang selama orde baru tidak pernah terealisasi.


Kini yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, apakah reformasi dibidang politik dan ekonomi telah berjalan mulus? Sudahkah demokratisasi yang berlangsung selama ini menjawab kegelisahan atas masalah kesejahteraan, yang seakan tidak pernah lepas dari negeri ini? Bila merujuk pada data BPS per Maret 2010, jumlah golongan miskin masih sangat besar. Jumlahnya sekitar 31 juta orang atau 13,3 persen dari jumlah penduduk. (Kompas, 12/7/2010). Dengan standar kategorisasi miskin yang terbilang rendah (BPS mengatakan miskin bila pendapatan warga Rp 190.000 per orang per bulan di pedesaan dan Rp 230.000 per orang per bulan di perkotaan), angka ini tentunya akan membengkak bila batas ambang pendapatan minimal dinaikkan.


Demokrasi dan Kesenjangan Sosial

Satu decade telah berlalu dan masalah kemiskinan masih menjadi pembahasan tiada habisnya. Negara ini seakan berada pada posisi yang lambat kaitannya dengan masalah pengentasan kemiskinan. Bila China berhasil menurunkan masyarakat golongan miskin dari 31 persen menjadi 6 persen, sedangkan Vietnam lebih drastis lagi dari 51 persen menjadi hanya 3. Maka, Indonesia (bila merujuk pada data BPS) bertahan pada angka 13,3 persen.

Merujuk pada dua pertanyaan sebelumnya, maka yang menjadi pertanyaan besarnya adalah apakah terjadi salah urus dalam pembangunan negeri ini? Bila ditilik pada sistem ekonomi yang dianut, negeri ini tidak secara tegas mengatakan sistem ekonomi liberal-kapitalis sebagai sebuah rujukan solusi. Meskipun demikian, slogan system ekonomi pancasila juga hanya menjadi slogan picisan yang sulit terealisasi. Secara tersirat, negeri ini mempraktikkan system ekonomi liberal dengan kapitalisme sebagai muaranya. Liberalisasi sektor investasi dan ketergantungan besar pada sektor industri menjadi indikasinya.


sistem pasar dewasa ini diyakini memberikan solusi pada masyarakat modern. Sistem ini pada gilirannya merupakan satu-satunya mekanisme yang saling memuaskan untuk mengatur dan menentukan keputusan kolektif yang berbasis individu (Hiariej (ed), 2004:48). Mekanisme ini menerapkan otoritas absolut yang memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk mengejar kepentingan berdasarkan sumber daya yang dimilikinya. Akan tetapi, sistem ini hanya bisa berfungsi baik selama hukum dan ketertiban dapat dipertahankan untuk mencegah penindasan fisik antara sesama individu dan untuk menghentikan praktik monopoli yang bisa mengancam kemerdekaan individu. Bila demikian adanya, maka masa depan demokrasi akan ditentukan oleh perimbangan kekuatan antara kelas social dominan dan subordinasi dalam memperebutkan hak untuk memerintah (Therborn : 1977, Rueschemeyer, Stephens and Stephens 1992).


Indonesia dan Demokratisasi

Kesenjangan yang terjadi di negeri ini maka jelas terjadi karena tidak berimbangnya kekuatan antara kelas sosial dominan dengan golongan subordinat. Kapitalisasi di segala bidang secara tidak langsung telah menghambat distribusi sumberdaya yang harusnya didapat oleh rakyat. Pada bidang pendidikan misalnya. Kapitalisasi di dunia pendidikan telah mengakibatkan sulitnya akses setiap warga untuk merasakan pendidikan yang layak. Dampaknya, kesejahteraan dari rakyat tidak meningkat karena tingkat pendidikan masih rendah. Selain itu, perlu dicermati pula reformasi di bidang politik yang tidak kunjung membaik. Politik yang dewasa ini menjadi “panglima” justru menjadi penghambat dari proses demokratisasi yang menyejahterakan rakyat. Demokrasi hanya dipahami pada inklusi politik dalam kontestasi perebutan kekuasaan. Namun, tidak dimaknai dalam perbaikan pemerintahan secara keseluruhan. Jika demokrasi sekadar mengumbar janji pepesan kosong, yang terjadi adalah mahalnya demokrasi tanpa diimbangi balas budi kepada rakyat, yang seharusnya senantiasa dilayani.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009