Korupsi dan Budaya yang terwariskan

Jauh sebelum negeri ini memperoleh predikat sebagai salah satu Negara terkorup di dunia. Bangsa ini telah melampaui praksis korupsi yang begitu nyata. Bila dirunut kembali, tumbuh suburnya di negeri ini tidak lepas dari budaya feodal yang berkembang pada beberapa abad yang lalu. Budaya feudal inilah yang membawa nilai-nilai yang terwariskan hingga kini. Dampaknya kita rasakan sekarang, korupsi seakan menjadi praktik penyimpangan yang “wajar”, khususnya bagi para birokrat pribumi.

Suhartono dalam penelitian yang berjudul Korupsi : Penyakit Sosial Manusia Indonesia, Analisis Kultural, 1900- 1945 mencoba merekam praktik korupsi yang tumbuh subur dari masa pergerakan nasional, hingga menjelang perebutan kedaulatan Negara melalui kemerdekaan. Penelitian ini memberi gambaran yang komprehensif tentang pola-pola pelaksanaan korupsi yang terjadi dalam lingkaran birokrat kolonial, bangsawan dan priyayi, serta masyarakat kebanyakan.

Pada penelitian itu, Suhartono menerangkan, sejarah korupsi dimulai dari kedatangan pemerintahan Belanda ke bumi Indonesia untuk tujuan eksploitasi ekonomi. Demi mencapai tujuannya, pemerintahan Belanda mau tidak mau harus bersinggungan dengan kerajaan-kerajaan, yang waktu itu memberlakukan hubungan patron-klien dengan kawulanya. Seperti yang kita ketahui, pada masa itu, sistem sosial-budaya masyarakat Indonesia masih didominasi oleh warisan budaya feudal.

Selanjutnya, pemerintah kolonial mempratekkan diskriminasi sosiokultural antara penjajah dan terjajah. Dikotomi inilah yang menghasilkan perasaan superior dan inferior. Dengan dalih menciptakan kestabilan, kententraman, dan ketertiban dalam masyarakat, pemerintah kolonial dengan baik menciptakan jurang kultural tersebut.

Suhartono menyampaikan, setidaknya ada tiga golongan masyarakat di zaman itu yakni, golongan bule, bangsawan dan priyayi, dan orang kebanyakan. Dalam hubungannya dengan kehidupan ekonomi, insan kolonial melakukan korupsi untuk tujuan eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Bangsawan mendapat gaji dan upeti dari tanah jabatan, dan priyayi yang dalam konteks ini menjadi pegawai negeri memperoleh gaji yang cukup dari pemerintah.

Kondisi tersebut secara tidak langsung telah membentuk kesenjangan sosial. Di satu sisi, golongan bangsawan dan priyayi mendapatkan pendapatan yang cukup. Sedangkan di sisi yang lain, wong cilik hidup dalam kondisi subsistem. Mereka menjadi objek eksploitasi penguasa colonial dan tradisional. Mereka harus bekerja untuk kepentingan dari patron mereka.

Pasca kemerdekaan, peran birokrat colonial diganti oleh birokrat Indonesia. Akan tetapi, harapan untuk memutus mata rantai dari praktek korupsi ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Pelanggengan terhadap model pemberian upeti yang sudah tumbuh subur pada masa lalu, ternyata masih dipraktekkan di era setelahnya (pasca kemerdekaan). Inti dari semua itu adalah, penyakit social manusia Indonesia, turut disebabkan oleh kultur feudal dan colonial.

Lantas, bagaimanakah sebenarnya relasi antara masing-masing kelas social dizaman itu, sehingga praktek korupsi tersebut seakan menjadi budaya yang terwariskan? Faktor sosio-kultural apa saja yang mendorong kondisi tersebut? Melalui perspektif kulturalyang mengaplikasikan metode sejarah (Garraghan, 1957), penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi.

Korupsi, Sebuah Catatan Historis

Sebelum datangnya pengaruh budaya Hindu, negeri ini sudah memiliki kultur Indonesia asli. Kultur ini mulai dibangun oleh para primus interpares yang membuka hutan untuk pemukiman. Tempat yang dipilih dan dijadikan pemukiman adalah hutan yang dibabad dan dijadikan tempat pemukiman. Masuknya budaya hindu dengan perangkat hukumnya telah melegitimasikan primus interpares itu menjadi raja dengan mengikuti ajaran-ajaran (dharma) dalam kultur Hindu. Sejalan dengan birokrasi pemerintahan, maka raja adalah pemilik tunggal (land property) atas tanah kerajaan.

Para birokrat di negeri agraris ini mendapatkan tanah apanage sebagai “gaji”. Di tanah apanage ini diangkat kepala desa (bekel, petinggi, aris, glondhong dan sejenisnya) yang mengorganisasikan tani sebagai pekerja. Dari hubungan tersebut, terjalinlah relasi patron-klien antar pemegang apanage, yaitu raja dan bangsawan dengan tani di desa. Selanjutnya, dalam proses produksi kepala desa mengorganisasikan tani yang dibebani dengan berbagai pajak. Pajak kerja itu yakni pajak kerja dan hasil bumi sebagai upeti (Suhartono W. Pranoto, 1991).

Sejak kedatangan pemerintah colonial, mereka dengan cerdik turut memanfaatkan sistem social yang sudah berlaku di Indonesia (sistem social feudal). Dengan cara menggandeng penguasa tradisional, mereka memperluas ikatan feudal demi kepentingan eksploitasi. Kondisi yang demikian jelas menguntungkan penguasa tradisional dan pemerintah colonial, sedangkan disisi yang lain rakyat makin termajinalkan dengan berbagai beban kultural.

Heerendinstein, cultuurdiensten, verpichte leverantien, dan berbagai sumbangan baik sukarela maupun dengan “permintaan”, turut memperkaya para penguasa. Para penguasa melalui birokrasinya mengontrol wong cilik secara berlebihan dan bahkan secara terang-terangan melakukan korupsi (Smith, 1974).

Kemudian muncul pertanyaan, dimanakah peran para cerdik-pandai sebagai kelompok perlawanan terhadap eksploitasi dari pemerintah colonial? Tidak dapat dipungkiri, beban ekonomi dan diskriminasi kultural dimasa itu telah menghadirkan penderitaan yang luar biasa pada rakyat. Sebagai respon dari kondisi tersebut, muncul gerakan-gerakan social dan politik yang pada masa itu dipelopori oleh Budi Utomo.

Budi Utomo (1908) tidak lain adalah gerakan budaya untuk melakukan resistensi terhadap superioritas colonial (Nagazumi, 1972). Gerakan budaya ini selanjutnya disambut oleh gerakan politik yang lebih riil menentang dominasi kultural-politik pemerintah colonial. Sarekat Dagang Islam (SDI) adalah salah satu dari sekian banyak gerakan kultural pribumi, yang tidak lain berbasis Agama Islam.

Selain melawan sistem feudal, perlawanan saat itu bisa dikatakan sebagai perlawanan yang juga melawan sistem social patriarkis. Sistem patriarkis memberikan wewenang para senior dan yang dianggap tua untuk lebih leluasa dalam bertindak. Dalam konteks ini, sangat memberikan peluang pada senior untuk bertindak menyimpang. Tindakan menyimpang dari senior sulit untuk dikontrol, sekalipun yang demikian jelas-jelas merugikan kepentingan publik. Gaya patriar seperti ini juga memungkinkan junior atau generasi dikemudian untuk melakukan imitasi terhadap seniornya.

Dari fenomena-fenomena di atas, dapat diambil sebuah simpulan bahwa secara keseluruhan antara tahun 1900-1945, baik pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, Korupsi yang dilakukan adalah korupsi pemerintahan yang sah yang hasilnya dilarikan ke Negara induk (Belanda dan Jepang). Para ambtenar Belanda dan pegawai Jepang, sesungguhnya sudah mengetahui cara-cara korupsi, tetapi mereka tidak mendapat kesempatan untuk melakukannya. Praktik ini “akhirnya” baru bisa terlaksana setelah dua penjajah hengkang dari Indonesia. Apa yang mereka lakukan tetap dalam bingkai budaya feudal, yaitu pengakuan public property menjadi private property (alatas,1986).

Perlawanan terhadap korupsi pun ternyata adalah perlawanan yang “terwariskan”. Jika dicermati lebih lanjut, usaha mendelegitimasi peran dari KPK tak ubahnya menjadi perwujudan kembali mentalitas bangsa feudal, merusak dari dalam dengan pelanggengan gaya-gaya kaum patriar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009