2012 dan Sebuah Konstruksi Pesan

Gegar kontroversi Film 2012 telah melanda seluruh penjuru dunia. Sejak dirilis pertama kali di Belgia pada 11 november yang lalu, film ini telah menuai kontroversi perihal prediksinya yang mengatakan dunia akan kiamat pada tahun 2012. Pun demikian di Indonesia, selang dua hari pasca dirilis di Belgia, Film ini telah memenuhi slot-slot pemutaran bioskop dalam negeri.

Respon khalayak ramai pun luar biasa karena antrean panjang selalu hadir setiap film ini naik layar. Larangan MUI kepada umat islam untuk tidak menonton film ini serasa tidak mempan, karena semakin dilarang, film yang tidak lain garapan dari Roland Emmerich ini semakin diminati dan membikin penasaran banyak pihak. Uniknya, ranah akademik juga memberi perhatian pada film ini. Kampus-kampus di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta tidak mau ketinggalan dengan mengupasnya dalam bingkai diskusi-diskusi ilmiah. Lantas, apa sebenarnya pesan yang dapat ditangkap dari fenomena ini?

Dewasa ini, Film tidak lagi dimaknai sebagai sebuah karya seni (film as art). Tetapi lebih sebagai praktik sosial. (Turner : 1991). Pendapat dari Turner tersebut disempurnakan oleh Jowett dan Linton dalam bukunya Movies and Mass Communication , yang menyebutkan bahwa film juga bisa dipandang sebagai praktik komunikasi Massa. Dari pergeseran pemaknaan terhadap perspektif ini, film tidak lagi cenderung dimaknai sebagai bentuk idealisasi, akan tetapi lebih meletakkan film sebagai karya yang obyektif.

Sebagai praktik social, film tidak dimaknai sebagai ekspresi pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari elemen-elemen pendukung proses produksi, distribusi maupun eksibisi. Sedangkan sebagai produk komunikasi massa, film dimaknai sebagai pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi filmis yang memahami hakekat, fungsi, dan efeknya. Artinya, film diproduksi untuk menyampaikan ide tertentu yang tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan budaya yang ada.

Kaitan antara hubungan film dengan masyarakat, maka akan muncul dua tafsiran utama. Pertama, film 2012 dapat dipandang sebagai produk komunikasi yang diharapkan mampu memberikan pengaruh kepada khalayak melalui potongan-potongan visul yang filmis. Dalam pendekatan positivis, komunikan diasumsikan sebagai entitas yang pasif dalam menerima pengaruh dari media massa, dalam konteks ini adalah film 2012. Kedua, film 2012 merupakan refleksi dari keadaan masyarakat yang diproyeksikan kembali ke dalam layar.

Dari 2 tafsiran tadi, Poin kedualah yang secara umum lebih disepakati. Film sebagaimana disampaikan oleh Garth Jowett merupakan produk komunikasi massa yang mampu merefleksikan masyarakat. Proposisi dari Jowett tersebut mengakibatkan film mengangkat hal-hal yang benar-benar mempunyai kedekatan dengan khalayak sehingga mempunyai nilai komersil yang dapat disasar ke banyak lapisan masyarakat,.

Isu penting yang seharusnya perlu diangkat dalam film 2012, terletak pada wacana perubahan iklim yang pada akhirnya berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Bila pada akhirnya film ini hanya berkosenstrasi pada isu ledakan matahari yang mengakumulasikan lahirnya berbagai bencana alam, tentu menjadi catatan minus tersendiri. Namun, sekali lagi, film bukanlah sekadar karya seni yang tidak memiliki muatan tertentu.

Perdebatan mengenai pesan “tersembunyi” dari film ini memang bisa diperdebatkan. Hanya filmmaker-nya lah yang tahu pastinya. Akan tetapi, pembacaan yang muncul adalah publik sebenarnya ingin digiring pada kenyataan bahwa “nasib” hitam dan putihnya dunia ini sebenarnya ada di pundak Negara-negara besar. Metafor yang digunakan adalah hanya pemimpin Negara-negara maju yang berhak diselamatkan dan bergabung dalam kapal canggih yang sudah dipersiapkan, sedangkan yang lain dapat bergabung dan selamat atas rasa “iba” dari pemimpin Negara maju.

Secara singkat dalam film ini digambarkan bahwa, kiamat boleh saja terjadi, namun bila anda ingin menjadi pihak yang selamat, maka ikutlah bersama dengan Negara maju untuk mengarungi bahtera tsb. Bila dikontekskan dengan konferensi perubahan iklim PBB yang dilaksanakan di Copenhagen saat ini, akankah hanya Negara maju yang “berhak” menentukan arah kebijakan terkait perubahan iklim ini? Tentu menarik untuk ditunggu. Yang jelas, Perubahan kiamat memang pasti akan terjadi. Namun, kritik social melalui film pun bisa menjadi manifestasi dari usaha untuk “melawan” perubahan iklim yang kini tak terelakkan lagi.

Achmad Faisal Amrie

Komentar

Anonim mengatakan…
Terima kasih atas maklumat menarik
AFA mengatakan…
sama-sama..semoga bermanfaat.. :)

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009