Kejahatan Legislasi DPR

Untuk yang kesekian kalinya. Segenap rakyat di negeri ini kembali kembali dikecewakan oleh badan legislasi. Raibnya pasal 113 ayat (2) dari Rancangan Undang-Undang Kesehatan menjadi kasus terkini. Uniknya, merebaknya skandal perundangan ini mengemuka ketika hiruk-pikuk perpolitikan nasional, sedang terarah ke puri cikeas, dimana Presiden beserta tim seleksi kabinet sedang menyusun KIB jilid 2.

Ayat beserta konsekuensinya

Bunyi ayat yang sempat hilang itu adalah sebagai berikut : “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya.” Zat adiktif adalah obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup, yang dapat menyebabkan kerja biologi serta menimbulkan ketergantungan atau adiksi. Adiksi tersebut sulit dihentikan dan berefek ingin menggunakannya secara terus-menerus. Jika dihentikan, dapat memberi efek lelah luar biasa atau rasa sakit luar biasa pada organisme yang teradiksi.

Konsekuensi logis ketika menempatkan tembakau sebagai zat adiktif sama artinya dengan memperlakukan tembakau layaknya narkoba yang peredarannya dikendalikan. Seperti yang kita ketahui, Indonesia selama ini telah menjadi surga bagi tembakau dengan rokok sebagai produksi favoritnya.

Ketika negara-negara di seluruh dunia mulai membatasi peredaran rokok, Indonesia justru menjadi sasaran ekspansi kapital dari pengusaha cerutu luar negeri. Seperti yang kita ketahui, dua perusahaan rokok nasional Sampoerna dan Bentoel telah diakuisisi oleh pemodal asing, masing-masing oleh Philip Moris dan British American Tobacco (BAT).

Lantas, kini yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, benarkah ini hanya sekadar kesalahan prosedural semata yang tanpa adanya unsur kesengajaan? Tentu publik sulit mempercayai yang demikian. Apalagi jika menilik kebelakang tentang tarik ulur pencantuman pasal tembakau dalam UU kesehatan.

Tapak tilas UU Kesehatan

Tidak dapat dipungkiri, berkembang besarnya industri rokok hingga saat ini menjadi penopang dari perekonomian nasional tidak dapat dipisahkan dari peran pemerintah selaku penentu arah kebijakan. Secara tidak sadar pemerintah telah membiarkan masalah ini mengalir begitu saja, tanpa adanya aturan yang jelas untuk mengendalikan perkembangan rokok. Pemerintahan SBY terbilang lamban dan terkesan mendukung industri rokok. Terbukti dengan mentoknya upaya legislasi di DPR.

UU Kesehatan ini sendiri sesungguhnya menjadi ujian keseriusan pemerintah kaitannya dengan pengendalian rokok. Pada tahun 2003 lalu, WHO telah menyusun FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Draf ini sendiri berisi tentang upaya pengendalian industri rokok, demi menyelamatkan generasi kini dan mendatang dari bahaya mengonsumsi rokok. Pada awalnya, Indonesia turut menjadi perumus dari draf ini. Namun, saat memasuki tahapan ratifikasi. Indonesia justru memilih untuk tidak (atau belum) meratifikasi draf tersebut. Sesuai dengan kesepakatan, setiap negara yang merarifikasi FCTC diminta kesediaannya untuk menuangkan dalam bentuk UU.

Tarik ulur dengan pemodal menjadi penyebabnya. Sumbangan cukai rokok yang tiap tahunnya mencapai Rp. 52-53 triliun membuat pemerintah tidak bisa berbuat tegas. Hal ini menjadi ironis mengingat angka tersebut tidak sebanding dengan kerugian biaya kesehatan yang mencapai Rp. 180 Triliun (Kompas, 19 Oktober 2009).

Fakta ini semakin mengafirmasi bahwa pemerintah memang berada di bawah kendali elit ekonomi. Teori ini sejalan dengan konsep negara kelas yang disampaikan oleh Karl Marx. Menurut marx, negara secara hakiki merupakan negara kelas, artinya negara secara tidak langsung dikuasai oleh kelas (-kelas) yang menguasai bidang ekonomi (magnis-suseno, 2001:120). Negara bukanlah lembaga yang mengatur masyarakat tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam kelas-kelas atas untuk mengamankan kekuasaan (kelas) mereka.

Upaya Solutif

Kini yang patut ditunggu adalah pengusutan terhadap raibnya pasal tersebut. Raibnya pasal 113 ayat (2) dari Rancangan Undang-Undang Kesehatan telah menimbulkan spekulasi tentang adanya unsur kesengajaan. Bila mencermati pernyataan Menteri Setneg yang menyebutkan terjadi beberapa kali kesalahan serupa di legislasi yang lain (RUU Perkeretaapian dan RUU Tata Ruang). Tentu yang demikian bukanlah hal yang “biasa”. “mengorupsi” pasal merupakan tindakan pidana, dan tentu saja harus dipertanggung jawabkan di hadapan hukum. Jangan sampai bangsa ini dengan mudah selalu dibodohi, akibat kontrol yang kurang terhadap legislasi di parlemen.

Achmad Faisal Amrie

Penullis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UGM (Ketua Korps Mahasiswa Komunikasi UGM)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009