Matinya Humanisme

Dunia ini sudah tua. Konon katanya, masyarakat sudah memasuki era postmodernisme. Rasanya tidak perlu saya membahas Postmodernisme di tulisan ini. Yang jelas, konsep matrealisme telah membuat individu hanya “mau” memikirkan dirinya sendiri. Inilah era objektivasi yang berlebihan. Dampak dari “fiqroh” semacam ini tidak lain, semakin jelasnya perbedaan antara si kaya dan si miskin.

****************************************************

Karena saya adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM. menjadi menu wajib saya, untuk setiap paginya mengupdate berita yang beredar di televisi. Seperti biasa, saya mulai pagi itu dengan mengonsumsi beragam newscast yang menawarkan jenis berita langsung (straight news). Yap, saya membutuhkan kebaruan informasi.

TVone, Metro TV, dan RCTI menjadi channel pilihan terdepan. Hmm, mungkin anda bertanya-tanya. lantas dimana posisi SCTV dengan liputan 6-nya? Secara pribadi, saya memang tidak menyukai gaya bahasa yang mereka pakai. Istilah jawanya terlalu “lebay”. Tentu teman-teman sudah paham dengan yang saya maksud. Intinya, mereka itu terkesan menggurui audiens. Seakan-akan audiens tidak bisa mengambil kesimpulan sendiri atas simbol-simbol yang mereka sajikan.

Sedangkan Indosiar dan TPI. Saya sudah lama tidak menyambangi dua Channel itu. dua channel tadi sudah saya delete dan tidak terindeks lagi di TV saya…

*********************************************************

Setelah memuaskan diri dengan mengonsumsi beragam berita langsung. Maka dengan inisiatif spontan saya mulai mengalihkan channel sesuka hati. Satu per satu saya jelajahi dan akhirnya televisi saya tidak beranjak dari Trans 7. Bagi saya, tidak beranjak dari channel Trans 7 adalah pilihan paling rasional. Disaat stasiun televisi lain sibuk dengan acara gossip dan musik. Dia datang menawarkan beragam liputan ringan namun, tetap inspiratif. Program yang saya maksud tadi adalah Selamat Pagi.

Dari bangun tidur hingga kembali menjelang tidur, infotainment setia “mengepung” kehidupan kita. terkadang saya sangat jadi kesal sendiri dengan “pekerja” infotainment itu. Sengaja saya tidak menyebut mereka wartawan karena yang demikian memang tidak pantas mereka sandang. Apakah layak disebut wartawan jika untuk membuat berita yang “benar” saja tidak bisa? Mereka sudah mencampuradukkan fakta private dan fakta publik dalam produk jurnalismenya. Ahh, mereka memang bukan “teman” saya. Setidaknya hingga saat tulisan ini saya buat.

Kondisi yang tak jauh beda dengan kehadiran acara musik. Sejak melejitnya program INBOX di SCTV. Stasiun TV yang lain lantas latah mengikuti tren tersebut. Trans TV mempunyai DeRing. sedangkan RCTI dengan trio Olga, Rafi Ahmad, dan Luna Maya tak mau kalah dengan menghadirkan Dahsyat. Acara-acara tersebut belum termasuk komodifikasi program musik seperti KISS Vaganza, Klik, Playlist dll. Benar-benar negeri ini telah memasuki alam pragmatisme ekonomi.

******************************************************

Kembali ke program Selamat Pagi. Mata saya langsung tertuju pada sebuah berita yang berasal dari Sukabumi. Bukan berita gembira, hanya sebuah potret realitas yang nyaris terlupakan.

Singkat cerita seperti ini. Daerah bernama Sukabumi konon tata kotanya makin tidak teratur. Yang menjadi kambing hitam adalah para pedagang kaki lima (PKL). Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah mereka kini semakin bertambah. Kondisi yang demikian berdampak pada semakin sesaknya jalanan di perkotaan. PKL-PKL tadi memilih untuk berjualan di beberapa jalan protokol di Sukabumi. Alasannya sangat sederhana, di jalanan itulah mereka mampu meraih rezeki untuk sekadar mengepulkan asap dapur.

Lantas, apa yang menarik dari fenomena itu? Inilah klimaks dari episode cerita PKL tadi. Seperti biasa, karena dianggap mengganggu ketertiban kota dan melanggar tata aturan yang berlaku. PKL-PKL tadi ditertibkan oleh bala tentara Satpol PP. pemandangan yang jamak terjadi di negeri ini. Di kota asal saya pun, fenomena PKL vs Satpol PP sudah lumrah terjadi.

Saya hanya tercenung memikirkan orang-orang lemah ini. Mereka yang sudah hidup dalam lingkaran keterbatasan yang “diciptakan”, kembali “diadili” dengan beragam UU yang tidak pernah berpihak pada mereka. “PKL dilarang berjualan di sepanjang trotoar…PKL dilarang…dst..” begitulah nasib orang-orang yang hidup untuk dilarang-larang, tanpa diberi solusi yang menyenangkan.

Duh gusti…mungkinkah hati “wakil-wakil kami” tadi sudah mati? Ataukah negeri ini sudah lupa dengan sebuah kata bernama humanisme ??

Entahlah…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009