Mahalnya Demokrasi Kita

Tahukah anda semua, berapa biaya yang dihabiskan KPU untuk menyelenggarakan Pemilu 2009 ini? Data terakhir yang saya ketahui, menunjukkan angka yang fenomenal. Tak kurang nominal sebesar Rp. 50 Triliun dikucurkan pemerintah untuk menghelat Pemilu kali ini. Fantastiskah? Tentu saja, apalagi bila menilik fakta jumlah sebesar itu sebanding dengan 5 persen dari total APBN 2009.

Belum cukup sampai disitu, dahi saya semakin berkerut jika mengingat kembali fakta yang terjadi di Pilkada Jatim. KPUD Jatim menggelontorkan dana tak kurang dari Rp. 800 Milliar, untuk 2 kali putaran pilkada plus sekali pungutan ulang. Dahsyatnya lagi, konon dana sebesar itu sama dengan seperlima dari APBD Provinsi Jatim! Sebagai perbandingan, anggaran tiap provinsi untuk pilkada berkisar antara Rp. 150 – Rp. 500 Milliar. Dari data tersebut, setidaknya kita dapat mengalkulasi sendiri, berapa dana yang “dibuang” sebagai konsekuensi logis dari “kewajiban” berhukum dengan sistem demokrasi.

Saya tidak tahu apakah harga sebesar itu, nantinya dapat menjawab kegelisahan segenap rakyat di negeri ini. Kegelisahan untuk menyaksikan bangsa yang dapat meningkat harkat dan martabatnya, ditengah keterpurukan bangsa yang menjadi-jadi (baca : utang LN yang semakin melangit). Saya sendiri tidak paham, mengapa bangsa ini harus “membeli” terlalu mahal untuk segala hal yang berlabel demokratisasi, ditengah kondisi paradoksal semacam ini.

Lelah memikirkan nasib sendiri

Saya yakin, semua orang di seluruh sudut negeri ini rindu. Rindu menyaksikan bangsa yang “maju” tidak hanya dari sisi materill, namun juga spiritual (GBHN banget...). Terasa menyakitkan memang, disaat bangsa ini dianugerahi sumber daya alam (SDA) yang luar biasa lengkapnya, namun disaat yang bersamaan, bangsa ini terkesan tak mampu. Tak mampu untuk sekadar mengelola SDM tersebut, demi mensejahterakan rakyatnya.

Sedih? Terang saja jika menyaksikan fakta SDA di perut bumi Indonesia dinikmati para bule beserta kroni-kroninya. Hati ini teriris sakit menyaksikan eksploitasi berlebihan di Freeport, sedangkan rakyat di sekitar sana miskinnya gak ketulungan. Ah, tak terbayangkan dengan apa yang nantinya terjadi di natuna dan Cepu. (Semoga rakyat Blora tidak hanya diberi limbahnya saja..aamin)

Kini, Pemilu itu sudah di depan mata. Tanggal 9 April menjadi hari penghakiman bagi bangsa ini, setidaknya dalam rentan waktu 5 tahun ke depan. Mau dibawa kemana bangsa ini dalam satu periode pemerintahan ke depan, turut dipengaruhi wajah orang-orang yang mewakili kita di parlemen.

Begitu lengkapnya calon legislator kita, hingga pilihan itu memang benar-benar beragam. Mulai dari politisi beneran, praktisi, akademisi, hingga artis dan pengamen, semua terkumpul di lembaran surat suara Pemilu 2009. Namun, sebelum parlemen itu benar-benar berbentuk. Pilihan itu ada di tangan kita jua. Mau milih silakan, mau golput, kalau bisa jangan…

Dari proses pra-pemilu ini, ada fenomena menarik yang membuat saya risau. Kembali lagi ke masalah mahalnya demokrasi kita. Saya berpikir, seandainya parpol di negeri ini memang benar-benar kaya. Mengapa uluran tangan mereka baru bertaburan di saat masa kampanye tiba? Hanya sedikit dari partai-partai tadi -atau bahkan nyaris tidak ada- yang bergerak di pelayanan sosial. Tragisnya, mereka baru muncul di masa-masa kritis (bagi mereka) seperti sekarang ini.

Total belanja iklan parpol di tahun 2008 mencapai Rp. 2,2 triliun. Jumlah ini meningkat 120 % dari belanja iklan dari tahun sebelumnya. Luar biasa bukan? Jadi sesungguhnya parpol di negeri ini memang kaya. Namun, sayang mereka (meski tidak semuanya) tidak peka terhadap kebutuhan rakyatnya. Begitu pragmatisnya wajah parpol di negeri ini. Sebar uang, berharap dapat dukungan. Ah, rakyat gak butuh iklan! Rakyat hanya butuh pertolongan di tengah susahnya mempertahankan hidupnya, lebih-lebih untuk menyekolahkan anaknya.

Saya memang bukan orang yang pesimis. Hanya mencoba menjadi seorang realis. Waktu rakyat kecil sudah habis untuk memikirkan hidup mereka, lalu untuk apa memikirkan calon-calon yang tidak benar-benar memikirkan rakyatnya? Lebih parah, jika justru menjelma menjadi tikus-tikus parlemen.

Yap, saya pun bergerak cepat. Mencoba berpikir siapakah yang akan saya contreng untuk mewakili suara saya di parlemen nantinya. Saya tidak mau di tanggal 9 April nanti. Saya menjadi salah satu orang yang berkontribusi menjerumuskan bangsa ini ke lubang kegelapan, dengan memilih caleg yang salah!

terlalu mahal untuk salah memilih bukan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009