Berpikir Ilmiah

Suatu ketika, dalam sebuah perjalanan menuju Tawangmangu. Saya berbincang renyah dengan salah satu teman satu jurusan. Saat itu, kami berdua melakukan perjalanan menyambut Munas BPPM Balairung. Perbincangan diawali dengan hal-hal yang remeh temeh tentang pengalaman kami berdua semasa kuliah Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. tak dinyana dari perbincangan ringan itu, secara tidak sadar kami berdua merasa tercerahkan satu sama lain tentang esensi dari “kuliah” itu sendiri.

Saya pun teringat dengan ucapan salah satu dosen di jurusan saya, mbak hermin namanya. Beliau pernah bertutur sederhana, namun sarat mana. “Ciri dari seorang intelektual adalah mampu melakukan analisis terhadap persoalan secara ilmiah”, kurang lebih begitu kutipannya. Ucapan yang semakna dengan kalimat tersebut, berkali-kali diulang oleh mbak hermin di berbagai kuliah yang diampunya. Timbul pertanyaan besar di hati saya untuk menggali makna dari simbol-simbol tersebut. Muncullah konklusi sederhana dari saya. Mungkin, kampus ini (UGM) telah mengalami kemunduran nuansa intelektualitas. Lebih mengkhawatirkan, banyak mahasiswa yang tidak bisa berpikir ilmiah!

Berpikir ilmiah, itulah yang menjadi momok bagi mahasiswa masa kini. Saya dan teman saya yang tadi, mengalami keresahan yang luar biasa ketika menempati kursi ruangan kelas kuliah. Ada beban besar yang menggurat di dalam dada ketika diri ini tidak mampu menunjukkan diri, sebagai kader intelektual bangsa. Saya tidak tahu, apakah teman-teman saya yang lain mengalami keresahan yang sama. Yap, ketika dinamika kampus gagal menghasilkan diskursus-diskursus segar. Bukankah yang demikian telah menunjukkan ada yang salah dengan proses perkuliahan tersebut?

Permisif terhadap internet

Ada yang pernah berkata, internet telah memudahkan manusia dalam beraktifitas. Dalam hal apapun, tidak terkecuali bagi mahasiswa. Apa pasal? Tentu setiap mahasiswa paham dengan yang saya maksudkan. Boomingnya internet dalam satu dekade terakhir, telah mengubah pola interaksi mahasiswa dengan ilmu pengetahuan. Saya pun berpikir, apakah dunia ini memang dirancang untuk serba instan? hingga mahasiswa pun memilih jalan pintas untuk memetik sebuah ilmu. Internet muncul sebagai alternatif baru untuk mendapatkan telaah-telaah ilmiah terhadap permasalah tertentu. Internet kini menjadi perpustakaan terbesar yang mengalahkan rak-rak buku di tiap perpustakaan.

Tentu, yang saya permasalahkan tidak berkaitan dengan akses terhadap jurnal-jurnal ilmiah atau pun e-book yang berbentuk soft file itu. Justru yang demikian memang memudahkan mahasiswa dalam mengunduh sebuah ilmu. Menjadi permasalahan besar bila yang menjadi rujukan adalah artikel-artikel yang masih perlu diuji keabsahannya. Internet di satu sisi telah mengorbitkan portal-portal akademik baru macam Wikipedia.org dan semacamnya. Namun, disisi lain telah mematikan budaya baca terhadap buku-buku.

Itulah kondisi dilematis yang dihadapi oleh dunia akademis saat ini. Disatu sisi, penggunaan internet sebagai referensi masih dapat digugat kedalaman tesisnya. Namun, disisi yang lain semakin banyak pula orang-orang di dunia ini yang menjadikan internet sebagai referensi baru. Saya yakin, tidak semua artikel dalam internet dapat dipercayai secara empiris. Meski banyak pula yang menghadirkan telaah ilmiah yang berkualitas. Namun, bukankah lebih berbobot bila diskursus yang dihadirkan tidak bersifat parsial, khas artikel-artikel yang bertebaran di internet.

Saya pribadi jujur, masih belum bisa melepaskan belenggu internet. Namun, sudah saatnya kita melakukan otokritik terhadap permasalahan yang serius ini. Jangan sampai debat-debat ilmiah itu semakin garing karena ketikadakmampuan kita dalam berpikir ilmiah. Semoga…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009