Korupsi, Menyoal Moral dan Hukum yang telah tergadaikan


Apa yang mempersatukan bangsa Indonesia dari sabang sampai merauke? Ada sebuah jawaban menarik meski terdengar sinis. Ya, dari barat sampai timur bangsa ini disatukan oleh korupsi! Alamak, begitu akut dan kronis kah permasalahan ini hingga cerita darinya tidak pernah lekang meski generasi berganti generasi, pemerintahan berganti pemerintahan, serta tidak ketinggalan regulasi yang senantiasa coba disempurnakan?

Tidak dapat dipungkiri lagi, praktek korupsi di negeri terbilang mengkhawatirkan. Indeks yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga survey internasional menunjukkan bahwa sebelum reformasi 1998, indeks korupsi di Indonesia menunjukkan angka 2,0. Namun, setelah reformasi 1998, tepatnya ditahun 2002 skornya merosot menjadi 1,9[1]. Timbul pertanyaan menarik, 10 tahun merasakan euphoria reformasi, mengapa tidak membawa bangsa ini pada kondisi yang lebih baik. Padahal, reformasi telah memberi dampak luar biasa bagi negeri ini. Reformasi telah mengubah konstitusi, mengubah wajah MPR, lembaga presiden, dan DPR.

Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas memang membutuhkan eksplanasi yang tidak singkat. Banyak faktor yang dapat menjelaskan mengapa laku koruptif tidak semakin berkurang. Namun, justru semakin tumbuh subur. Melalui tulisan yang bersandar pada nilai-nilai filosofis yakni perspektif etika moral dan hukum, penulis mencoba memetakan segala permasalahan korupsi yang seakan mampu mengepung bangsa ini dari berbagai sudut.

Korupsi dalam fase sejarah

Sebelum menelaah lebih jauh kompleksitas tindakan korupsi di Indonesia. Ada baiknya jika kita memahami lebih dulu berbagai tipologi korupsi. Dari segi tipologi, korupsi dalam tujuh jenis varian yang berbeda, yakni korupsi transaktif (transactive corruption), korupsi yang memeras (extortive corruption), korupsi investif (investive corruption), korupsi perkerabatan (nepostic corruption), korupsi defe nsive (defensive corruption), korupsi otogenik (otogenic corruption), dan korupsi dukungan (supportive corruption)[2]. Empat tipologi pertama lah yang sering melibatkan institusi pemerintahan dan swasta di negeri ini.

Korupsi transaktif merujuk adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya. Jenis korupsi memeras adalah jenis korupsi dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang, dan hal-hal yang dihargainya.

Korupsi investif adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu. Sedangkan korupsi nepotisme adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan memberikan perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk lain, yang bertentangan dengan norma atau peraturan yang berlaku.

Kini muncul sebuah pertanyaan. Sejak kapan kah sebenarnya korupsi mulai muncul? Menjawab pertanyaan tersebut, jawaban yang logis adalah ketika manusia mulai mengenal kehidupan bermasyarakat, yakni tatkala organisasi masyarakat yang rumit mulai muncul[3]. Sejarah menunjukkan hampir setiap peradaban kuno dunia mengalami masalah ini.

Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani, dan Romawi kuno merupakan deretan peradaban kuno yang tersentuh praktek korupsi. Hammurabi dari Babilonia, yang naik tahta sekitar tahun 1200 sebelum masehi, memerintahkan salah seorang gubernur untuk menyelidiki satu perkara penyuapan. Disebutkan pula bahwa hukum Hammurabi mengancam beberapa bentuk korupsi oleh pejabat pemerintahan dengan hukuman mati[4]. Shamash, seorang raja Assiria (sekitar tahun 200 SM) menjatuhkan pidana tegas kepada hakim yang terbukti menerima suap[5]

Fakta empiris tersebut menunjukkan bahwa korupsi merupakan masalah besar nan akut yang menghinggapi setiap organisasi kemasyarakatan. Dalam konteks kekinian merambah pada ranah pemerintahan. Perang terhadap korupsi pun kini tidak hanya menjadi agenda nasional. Lebih dari itu, telah menjadi agenda internasional. Hal ini berkorelasi linear kaitannya dengan implementasi demokrasi di seluruh penjuru dunia.

Dari etika hingga penegakan hukum

Dari sekian agenda reformasi, pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda yang tersulit. seperti yang diketahui oleh khalayak luas, reformasi telah merevisi amandemen, mendepolitisasi tentara, dan mendesentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah. Semua agenda itu telah berjalan sesuai dengan relnya. Namun, hanya pemberantasan korupsilah yang seakan berjalan mundur. Parahnya lagi korupsi tidak dilakukan secara individual. Namun, dilakukan secara bersama-sama oleh pejabat public.

Terasa menyakitkan memang melihat orang-orang yang menduduki jabatan public justru melakukan kejahatan nista bernama korupsi. Muncul pertanyaan dari penulis, benarkah kita telah melakukan demokrasi yang kebablasan sehingga menafikkan nilai-nilai etika dalam praksis politik? Lebih lanjut, benarkah tembok besar bernama penegakan hukum menjadi hal yang utopis dalam konteks pemberantasan korupsi?

Etika itu sendiri merupakan bagian filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi orang yang baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam kehidupan[6]. Lebih sederhananya, etika selalu berkaitan dengan mana yang baik dan mana yang buruk, penghargaan dan pembenaran atas tujuan yang kita perjuangkan, cita-cita yang kita dambakan dan hukum yang kita anggap baik dan perlu ditaati. Sebagai makhluk tuhan yang dibekali kelebihan berupa daya cipta rasa, dan karsa. Maka, hakikat dari manusia pada dasarnya adalah makhluk rasional. Bila Descartes penah berujar, “ aku berpikir, maka aku ada”, seperti itulah hakikat nilai yang dimiliki manusia.

jika demikian adanya, apakah sekumpulan orang terpandang yang melakukan laku koruptif tidak melanggar hakikat mendasar sebagai makhluk yang berakal? Ya, semakin heran bila menyaksikan produk hukum yang ada tidak mampu menjerat pelaku korupsi. Masalah utama yang dihadapi bangsa ini memang bukan pada kekosongan aturan hukum. Namun, lebih pada tataran praktis untuk mengimplementasikan aturan yang ada[7].

Eksesifitas laku koruptif

Salah satu indikasi terlaksananya proses demokrasi yang sebenarnya adalah penegakan hukum. Bila dalam tataran hukum tidak berjalan secara efektif. Maka, yang tersisa adalah ketidakefisienan pemerintahan dan lahirnya ketidakadilan. Secara tidak langsung[8], korupsi telah merusak legitimasi negara. Korupsi juga menjadi bukti telah terjadi masalah yang lebih mendalam dalam hal urusan negara dengan sector swasta, yakni semakin maraknya praktek penyuapan pada pejabat public demi meraih keuntungan tertentu.

Ada beberapa catatan penting yang dapat diperhatikan dari dampak eksesif yang dihadirkan oleh tindakan korupsi, yakni pertama, pembuatan kontrak pemerintah yang tidak efisien dan swastanisasi. Korupsi mengakibatkan terjadinya penggelembungan anggaran. Dampak yang dihasilkan pun uang rakyat banyak yang masuk ke kantong koruptor. Kedua, ketidakadilan. Berkaitan dengan permasalahan yang pertama. Maka, hanya pihak yang “mau” memberikan suap tertinggi lah yang akan mendapatkan proyek-proyek pemerintah. Jika demikian adanya, maka lingkaran setan pelaku korup akan sulit ditembus.

Ketiga, keabsahan politik yang rusak. Korupsi yang sistemik telah melemahkan legitimasi pemerintahan, terutama pemerintahan demokrasi. Sungguh sulit membayangkan proses demokrasi dapat berjalan mulus bila dalam tataran pemerintahan, korupsi telah membudaya.

Sebagai penutup, mari merenungkan sejenak uraian dari Ignatius Haryanto. Lebih kejam mana laku sadis Ryan (pelaku pembunuhan berantai) dengan pejabat public (DPR) yang melakukan korupsi? Pada tataran tertentu, tindakan korupsi dapat lebih dikedepankan. Mengapa? Sangat sederhana, yakni karena pelakunya telah menggadaikan kepercayaan jutaan orang di negeri ini yang masih hidup dalam kesusahan, sedang dia menikmati gelimang uang rakyat!

Daftar Pustaka

  • Denny J.A. 2006. Parliament Watch, Eksperimen Demokrasi : Dilema Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
  • Elliott, Kimberley Ann. 1999. Korupsi dan Ekonomi Dunia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
  • S.H. Alatas. 1987. Korupsi : Sifat, Sebab, dan Fungsi. Jakarta : LP3ES.
  • Solomon, Robert C.1987. Ethics : A Brief Introduction. Terj. Etika : Suatu Pengantar. Terj. Penerbit Erlangga.


[1] Denny J.A menyampaikan hal tersebut dalam sebuah talkshow bertajuk “Parliament Watch” di metro TV. Indeks yang semakin kecil menunjukkan tingkat korupsi yang semakin buruk.

[2] S.H. Alatas. 1987. Korupsi : Sifat, Sebab, dan Fungsi. Jakarta : LP3ES. Hal.ix

[3] Ibid. hal.1

[4] G.R Driver, J.C. Miles seperti yang dikutip S.H. Alatas dalam Korupsi : Sifat, Sebab, dan Fungsi.Jakarta : LP3ES. Hal.1

[5] Ibid. Hal.1

[6] Robert C. Solomon.1987. Ethics : A Brief Introduction. Terj. Etika : Suatu Pengantar. Terj. Penerbit Erlangga : hal. 2

[7] Denny J.A. 2006. Parliament watch. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Hal.168

[8] Kimberley Ann Elliott. 1999. Korupsi dan Ekonomi Dunia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Hal. 63

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009