Kode Etik dan Kebebasan Pers

Tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang tidak berkomunikasi. One can’t not communicate, begitulah postulat dari palo alto school. Apa pun motifnya, manusia pada dasarnya mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Di setiap sudut tempat, manusia melakukan aktifitas komunikasi dengan orang lain. Di rumah, warung, kampus dan berbagai tempat lainnya terjadi “transaksi” pesan bernama komunikasi.

Penulis pun semakin berpikir, apakah benar manusia membutuhkan informasi layaknya kebutuhan pokok yang lain? Di era ketika teknologi komunikasi berkembang semakin pesat, seakan-akan manusia dibentuk untuk selalu haus akan informasi. Tidak lain karena perubahan terjadi begitu cepatnya, disisi lain garis batas geografis tidak lagi menjadi handicap untuk mendapatkan informasi dari belahan bumi lain.

Kembali pada pertanyaan yang penulis lontarkan diatas, untuk memaknai candu bernama informasi. Ada baiknya bila kita pahami terlebih dahulu hakikat dari informasi itu sendiri. Informasi dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang dapat mengurangi ketidakpastian. Jadi, ketika seseorang mulai menceburkan dirinya pada dunia informasi, sesungguhnya individu tersebut mulai mencari referensi realitas kehidupan yang ada disekitarnya. Realitas empiris yang sampai pada dirinya lah, yang turut membentuk aspek kognitif dan psikologis dari individu tersebut.

Eranya Masyarakat Informasi?

Kini yang menjadi pertanyaan besarnya adalah benar kah negeri ini telah memasuki taraf masyarakat informasi? Ada banyak indicator yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Salah satu diantaranya seperti yang disebutkan Abrar yakni ketika teknologi komunikasi mampu membuka akses pada berbagai pelayanan dan jaringan informasi. [1]

Di Indonesia sendiri, masyarakat informasi belum tersebar secara merata. Masyarakat informasi baru terbentuk pada wilayah urban. Sedangkan, masyarakat industry dan agraris masing-masing mendominasi di pinggiran perkotaan dan daerah pedesaan.

Toh, yang demikian tetap memungkinkan adanya pertukaran informasi dalam jumlah massif dalam tempo yang relatif singkat. Jadilah saat ini disebut eranya mediasi. Media menjadi konsumsi sehari-hari yang tidak lagi terelakkan bagi khalayak luas. Lebih jauh media telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan privat khalayak.

Berita dan profesionalisme wartawan

Bila sebuah informasi telah menjadi bagian tidak terpisahkan pada masyarakat zaman sekarang. Tentu yang terpikirkan dalam benak kita, apakah benar informasi yang ada mampu mengurangi segala ketidakpastian atau malah membentuk sebuah kepastian semu? Berita sebagai turunan dari produk informasi itu sendiri, sering diperdebatkan objektivitasnya. Inilah yang penulis sebut sebagai kepastian semu.

Apa pasal? Patut dipahami, News is construct (berita adalah sebuah konstruksi). Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa realitas yang terdapat di media bukanlah cermin dari kejadian yang sesungguhnya (Mickelson, 1972 dalam Petterson, 2000 : 241). Mengapa bisa demikian ? hal ini disebabkan ideologi yang digunakan oleh aktor yang berada di balik layar pembuatan berita (ideologi media). Dalam proses pengumpulan, produksi, hingga pengiriman berita, semua telah ditentukan dalam bentuk kebijakan redaksional institusi media yang bersangkutan.

Bill Kovach menyebut konsep kebenaran sebagai prinsip pertama yang paling membingungkan bagi seorang jurnalis.[2] Sedangkan George H. Mead mengatakan, ketika wartawan dikirim ke lapangan untuk mencari berita, pada hakikatnya dia tidak mengumpulkan fakta melainkan sebuah cerita. Jangan pernah berpikir media selalu menyajikan informasi yang sebenarnya, mungkin seperti itu yang ingin dia ungkapkan pada khalayak. Setiap media mempunyai tujuan, setiap media mempunyai ideologi, tergantung ideologi apa yang ada di belakang mereka. Bila sudah seperti itu realita yang kita hadapi patut kah mempercayai produk informasi bernama berita?

Kode Etik, Kompas bagi Wartawan

Sebegitu pentingkah peran jurnalisme sehingga topik yang satu ini selalu diperbincangkan? Jika yang dijadikan rujukan adalah keterlibatan berita dalam kehidupan kita, maka jawabnya adalah ya! Kita membutuhkan berita untuk menjalani hidup kita, untuk melindungi kita, menjalin ikatan satu sama lain, mengenali teman dan musuh. Jurnalisme tak lain adalah sebuah system yang dilahirkan masyarakat untuk memasok berita itu sendiri [3]. Inilah yang menjadi alasan mengapa kita harus peduli terhadap karakter berita, terhadap apa yang mereka tampilkan. Sesungguhnya kualitas dari sebuah berita, mempengaruhi kualitas hidup dari individu itu sendiri.

Dan ketika kita sudah memperbincangkan kualitas berita. Adakah satu rumusan yang bisa membuat seorang wartawan benar-benar menjalankan fungsi kontrol social, yang sudah dilekatkan public padanya? Bila dalam tataran lingkaran yang lebih kecil dalam kehidupan manusia, kita mengenal etika dan norma sebagai panduan dalam menjalani kehidupan. Maka, kode etik wartawan lah yang menjadi jawabnya.

Di Indonesia, sejak tumbangnya era orde baru, perbincangan tentang kebebasan pers selalu menjadi diskursus hangat dalam dunia jurnalisme. Akan digiring pada bentuk yang seperti apakah system media bangsa ini? Tentunya dengan kehadiran kode etik inilah, seorang kuli tinta mengetahui apa yang harusnya mereka ketahui. Apa yang harusnya mereka jalankan, dan apa yang haram mereka jalankan.



[1] Ana Nadhya Abrar. 2003. Teknologi Komunikasi, Perspektif Ilmu Komunikasi. Yogyakarta ; Penerbit LESFI. Hal.29.

[2] Bill Kovach & Tom Rosentiel. 2003. Sembilan Elemen Jurnalisme. Jakarta : Yayasan Pantau & ISAI. Hal.37.

[3] Ibid. hal.2

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009