Antara Niat dan Bid'ah

Sungguh susah hidup di akhir zaman. Zaman ketika segala sesuatunya seakan-akan menjadi serba bias. Bagi mereka yang masih awam, sungguh sulit membedakan antara perintah dan larangan. Mana yang harus dilaksanakan dan mana yang seharusnya ditinggalkan. Perbedaannya menjadi semakin tipis meski, pada hakikatnya semua itu mempunyai garis batas yang jelas.

Dari Abu Abdillah bin Nu’am Bin Basyir ra. Berkata, aku mendengar Rasululloh SAW. Bersabda :

“ Sesungguhnya yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas. Sedangkan diantaranya ada masalah yang samar-samar (syubhat) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa menghindari yang samar-samar, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Barang siapa terjatuh dalam perkara yang samar-samar, maka ia telah jatuh pada perkara yang haram. Seperti penggembala yang berada di dekat pagar milik orang lain, dikhawatirkan ia akan masuk kedalamnya….” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari petikan hadits yang termaktub dalam kitab Arba’in Nawawiyah tersebut, cukuplah bagi seorang muslim memahami dua hal saja, perintah dan larangan. Bila dua hal pokok dalam melaksanakan Dien (agama) ini sudah terjawab. Niscaya tidak akan ada lagi rasa bimbang terhadap segala tuntunan yang ada.

Namun, melaksanakan segala tuntunan agama memang bukan perkara yang mudah. Tidak semudah membalik telapak tangan. Bila tidak berada pada manhaj yang shahih, maka segala kemungkinan untuk terjerumus pada lubang kesesatan semakin besar. Semakin tuanya dunia ini, semakin asing pula agama. Semakin banyak yang meninggalkan sunnah, disisi lain fitnah syubhat dan bid’ah semakin merajalela. Islam datang terasing dan akan pergi dengan keadaan terasing pula.

Kisah di malam tahun baru

Bukan bermaksud sok paham dalam urusan agama, atau bahkan merasa paling benar. Namun, inilah realita yang ada. Dakwah yang berkembang di kota asal saya, Kota Blora, memang masih banyak yang harus disempurnakan. Dengan mudahnya saya menemui dua masalah penting yang saya lontarkan tadi, yakni fitnah syubhat dan bid’ah. Dan masalah yang kedua itulah yang menjadi keresahan saya. Ajaran yang dulunya pernah saya imani dan kini perlahan mulai saya tinggalkan.

Berawal dari pemahaman semasa SMA, ketika saya masih aktif di berbagai forum keagamaan. Beragam tuntunan maupun ajaran, baik yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah mulai saya serap. Sebagai seorang yang masih awam akan urusan agama, teramat wajar bila seorang anak ingusan yang masih duduk di bangku SMA, pada awalnya cukup sekadar ikut-ikutan. Kini, seiring dengan pemahaman baru yang saya dapatkan. Ada beberapa ritual keagamaan semasa SMA yang sudah selayaknya tidak dilestarikan.

Salah satu ritual yang hingga kini masih membumi di SMA saya dulu adalah tradisi khataman qur’an. Khataman qur’an rutin dilaksanakan menjelang momen tertentu. Pada kasus ini dilaksanakan menjelang ujian nasional dan tahun baru hijriyah. Tujuannya pun sebenarnya sederhana, agar yang hadir dalam acara tersebut terpenuhi segala hajatnya. Sekilas memang tidak ada masalah dengan khataman qur’an. Justru terkesan ibadah yang mulia.

Akan tetapi, menjadi masalah besar bila mengaitkan khataman qur’an dengan dua momen tersebut. Yang menjadi pertanyaan besarnya, apakah aktivitas yang dimaksudkan untuk beribadah terhadap Alloh Ta’ala tersebut, sesuai dengan tuntunan rasululloh SAW ? bukan kah setiap penambahan dalam ibadah termasuk bid’ah ?

Dari Ummul Mukminin, Ummu Abdillah, Aisyah ra. Berkata, Rasululloh SAW. Bersabda :

“Barang siapa yang membuat hal-hal baru dalam urusan (ibadah) yang tidak ada dasarnya maka ia tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika memang tujuannya hanya untuk sekadar membaca firman Alloh Ta’ala, kenapa harus dilaksanakan pada momen tertentu seperti yang saya sebutkan tadi? Bukan kah membaca qur’an pada hari-hari biasa juga tidak mengurangi nilai ibadahnya disisi Alloh ta’ala?

Dan saya mulai menjaga niat

Saat itu saya dihadapkan pada posisi yang sulit. Disatu sisi saya dituntut menghormati adik SMA yang meminta saya untuk hadir di majelis tersebut. Disisi lain, saya dihantui jikalau majelis tersebut merupakan majelis yang menegakkan nilai-nilai bernuansa bid’ah. Saya tidak mau berspekulasi panjang, toh saya pun tidak punya hak untuk membid’ahkan acara tersebut.

Saya pun terpaksa nimbrung di majelis tersebut, hingga seakan-akan tampak larut dalam suasana khataman qur’an. Saya rampungkan Juz 23 yang dibebankan pada saya. Namun, sejujurnya hati saya tidak berada di majelis tersebut. Saya tidak berniat turut serta dalam khataman tersebut, melainkan sekadar mengaji biasa.

Andai saja saya mempunyai kekuatan untuk menyampaikan hal ini pada adik-adik SMA yang saya cintai, maka akan saya sampaikan dalil-dalil ini. Saya takut bila nantinya termasuk dalam segolongan orang yang ibadahnya tidak mendapat arti disisi Alloh Ta’ala dan pada akhirnya hanya menjadi pribadi yang bangkrut.

“Banyak muka pada hari itu tertunduk hina” (al-ghaasyiyah:2)

Mereka itulah yang merasa telah bekerja keras beribadah di dunia, namun merugi karena amalannya tidak dinilai disisi Alloh Ta’ala. semoga Alloh mengampuni atas segala kedangkalan ilmu yang dimiliki hamba-Nya...

Wallohu Ta’ala ‘alam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009