Jum'at yang Kelam (Part 1)

Jum’at, 7 november 2008. Tidak ada yang special di hari ini. Awalnya, semua berjalan seperi hari-hari biasa. Terbangun pukul 4.00 pagi, diri ini ku tuntun untuk melaksanakan kewajiban sebagai muslim. Ya, sholat subuh berjama’ah. Dalam islam, seorang laki-laki muslim memang diwajibkan untuk menjaga sholat berjama’ah di masjid. Bagaimana pun kondisinya, bila tanpa ada alasan yang disyari’atkan, tidak ada keringanan bagi seorang laki-laki untuk tidak beranjak ke masjid.

Hanya 20 menit, waktu yang singkat untuk menghamba pada sang penciipta. Selesai menunaikan kewajiban tersebut. Bersiaplah diri ini untuk menyambut perjalanan jauh nan melelahkan. Pulang ke Blora!. Alangkah senangnya, setelah sebulan melalui penatnya aktifitas perkuliahan. Kini, tiba saatnya untuk melepas segala kerinduan yang membuncah dalam dada. Keluarga, teman-temanku semua, aku sudah merindukan kalian..hmm..

Demi Alloh sang penguasa kehidupan, Andai kan semua rencana berjalan dengan semestinya. Tentunya hanya ada kebahagiaan yang menghiasi hari-hariku. Manusia memang bisa berkehendak. Namun, Alloh jua yang menentukan. Tanpa pernah ku ketahui sebelumnya, aku telah disambut sebuah takdir. Takdir yang mengungkap pelbagai makna, hingga pada akhirnya aku tersadar. Inilah salah satu hari paling menggetirkan dalam sejarah hidupku.

Jum’at itu…

Dan akhirnya…kisah ini pun dimulai. Setelah sejenak menghabiskan waktu di depan televisi. Tepat pukul 5.30 aku mulai bergegas mengeluarkan motor. Sebelum memulai perjalanan ini, tak lupa mesin motor kupanaskan terlebih dahulu. Brrmmm..brrmmm…sudah saatnya untuk berangkat. Kumulai degan bacaan basmalah agar perjalanan ini mendapat berkah dari Alloh Ta’ala.

Melakukan perjalanan di pagi hari memang menjadi solusi yang terbaik. Matahari belum menampilkan sengatannya, udara masih terasa sejuk, dan yang terpenting, lalu lintas masih belum ramai. Jadilah perjalanan di pagi hari serasa tanpa hambatan. Mungkin karena merasa tidak ada hambatan inilah yang membuat aku terlupakan akan sesuatu. Aku lupa bahwa setiap perkara mempunyai tingkat kesulitan tersendiri. Ketika kemudahan itu sudah di depan mata, bukan tempatnya lagi untuk memacu kendaraan dengan ketergesaan. Sudah seharusnya aku mengontrol hasrat untuk sampai di rumah secepatnya. Namun, di pagi itu, ternyata aku yang jadi pecundang bagi syetan. Aku justru memacu kendaraan tanpa rasa kehati-hatian.

Jalan panjang menuju Blora

Kabut di pagi itu memang belum hilang sepenuhnya. Namun, aku tetap memutuskan menutup kaca helm, meski pada kenyataannya pandangan agak terganggu karenanya. Hingga akhirnya, sampailah aku di perempatan SMA N 2 Klaten. Tiba-tiba tanpa tersadar di depan mata ada seorang laki-laki dengan barang dagangan di belakang joknya.

Melaju dalam kecepatan 80-90 km/jam, dengan jarak antara kami berdua yang hanya berkisar 5 meter. Tidak ada celah lagi bagiku untuk melakukan pengereman mendadak. Aku pun semakin tersadar bila rem belakangku tidak menghasilkan kerja yang maksimal. Tak lain karena kampas remku memang sudah saatnya diganti. Dan……bruaaaaakkkk!@#$%….terjadilah peristiwa yang tidak pernah kuharapkan sebelumnya. Terjatuh, dan menghasilkan luka di sekujur tubuh sebelah kanan.

Beberapa detik setelah mencium kerasnya aspal. Aku masih belum percaya apakah ini benar-benar terjadi padaku. Kejadian itu serasa terjadi begitu cepatnya. Baru setelah aku mencoba untuk bangkit, dan merasakan perih dan nyerinya tangan, perut, dan kaki. Kecelakaan ini memang benar-benar ku alami. Aku tersungkur sejauh 20-30 meter dari titik kecelakaan. Sedangkan motorku lebih parah lagi, terpelanting sejauh 20 meter dari tempatku tersungkur.

Kucoba untuk terus menenangkan diri. Tenang im! Tenang!!!..kuhela nafas sejenak untuk mengumpulkan energy yang seakan lenyap seketika. Dan dalam kondisi seperti ini, tidak ada satu pun kata yang pantas untuk diucapkan kecuali dua kalimat sakti, istighfar dan hamdalah. Istighfar karena mungkin inilah teguran bagi seorang hamba yang banyak melalaikan perintah-Nya. Sedangkan hamdalah karena nyawa dan raga ini belum terpisahkan. Setidaknya Alloh masih memberi kesempatan bagi diri ku untuk bertaubat kepada-Nya.

Setelah berdialog sejenak dengan sosok yang ku tabrak tadi (tentunya untuk menyelesaikan segala sesuatu yang harus diselesaikan), kini saatnya mencari bengkel. Motor ini rusak berat di bagian roda dan rem belakang. Namun, yang menjadi masalah besarnya adalah saat itu masih pukul 6 pagi!. Tidak ada bengkel yang buka pada jam segitu. Jadilah aku menunggu sekitar 1,5 jam lamanya untuk menanti dibukanya bengkel.

Kucoba menenangkan diri dengan merebahkan diri di kursi kayu depan bengkel. Dan aku pun teringat membawa sebuah barang penting. Laptop! barang kesayanganku. Setengah dari sumber ilmuku. Barang elektronik yang bisa membantu diri ini untuk meraih segala cita yang telah ku rancang. Jantungku pun berdegup kencang, cemas memikirkan apakah terjadi kerusakan pada barang rapuh tersebut.

Huuhh..Apa lacur, ternyata benar dugaanku. Laptop ini mengalami kerusakan. Tombol power-on tidak bekerja semestinya. Meski tidak mengalami kerusakan parah pada tubuh laptop. Hal terburuk masih saja kubayangkan, jikalau sekumpulan hardware yang terdapat di dalam tubuh laptop mengalami kerusakan. Ah..semuanya sudah terjadi. Semoga saja masalah ini bisa kuselesaikan secepatnya. Semoga…semoga, dan semoga…

Di bengkel itu…

Perbaikan motor pun di mulai. Sebelum segalanya dipersiapkan. Kutanyakan terlebih dahulu pada sang montir, berapa biaya yang harus aku keluarkan untuk memperbaiki kerusakan motor. “kira-kira, 60 ribu mas”!, ujar sang montir mantap. Aku pun langsung bereaksi, gak bias kurang mas ?!. sejenak sang montir berpikir menghitung kerusakan di tubuh motorku, lalu dia berujar, « ya kira-kira segitu mas..tapi kelihatannya bisa kurang kok »! beruntunglah diri ini, dengan modal uang 1 lembar 100 ribu ditangan, lebih dari cukup untuk menyelesaikan masalah ini.

Sembari menanti motorku direparasi. Kuhabiskan waktu untuk membaca buku-buku yang sengaja aku bawa sebelumnya. Jadilah Novel Buya Hamka berjudul Dibawah lindungan Ka’bah menemani rasa gundah yang awalnya menyelimuti perasaanku. Selain itu, aku juga memilih menjaga hafalan hadist dengan membaca kitab kecil yang setia menemaniku.

1,5 jam lebih berlalu. Motor itu akhirnya selesai diperbaiki. Novel setebal 100 halaman itu pun sudah ku khatamkan. Aku pun memutuskan untuk kembali ke kota gudeg. Dalam pikirku, bukan pilhan yang tepat melanjutkan perjalanan dengan resiko menghabiskan shalat jum’at diperjalanan. Lagipula, badan ini butuh istirahat sejenak.

Kurang dari pukul 10, aku sudah sampai kembali di kos tercinta. Kubersihkan luka-luka yang membuat pakaianku berlumuran darah segar. Mandi, shalat duha, dan tidur. Alangkah bersyukurnya diri ini atas segala nikmat-Nya…ku lupakan sejenak kejadian yang sempat menghentakkan hati. Aku pun terlelap hingga waktu shalat jum’at tiba.

Continued....


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009