Jajak Pendapat, Racun dalam Demokrasi?

Dalam diskursus demokrasi, kebebasan berpendapat diposisikan pada tempat yang mulia. Setiap individu bebas menyampaikan pendapat dan gagasannya. Tentunya kebebasan berpendapat yang dimaksud disini adalah kebebasan berpendapat yang bertanggungjawab. Asalkan masih dalam koridor diskusi rasional, setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk terlibat dalam diskusi publik.

Kini, 10 tahun sudah bangsa ini menjalani era reformasi. 2 kali melaksanakan Pemilu, telah menghasilkan 4 rezim berbeda. Dalam rentan waktu satu dasawarsa ini, bangsa ini masih terus belajar memaknai esensi demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi seperti apakah yang diinginkan oleh bangsa berpenduduk hampir seperempat milyar jiwa ini? Apakah demokrasi yang menjurus pada efek positif, atau justru yang membawa Negara ini pada jurang yang lebih curam.

Menakar apakah bangsa ini sudah melaksanakan amanat reformasi bukanlah perkara yang mudah. Meskipun demikian, bila diperbolehkan melakukan penilaian terhadap proses yang sedang berjalan. Nampaknya, isu Pilkada dan Pemilu dapat dikedepankan. Mengapa demikian? Dua proses inilah yang menjadi miniatur keberhasilan suatu Negara dalam upaya memberdayakan partisipasi publik. Meski isyu partisipasi publik selalu menghadirkan pro-kontra, setidaknya partisipasi publik menunjukkan terbukanya ruang untuk dapat menyampaikan aspirasinya.

Jajak Pendapat dan Pemilu

Salah satu rangkaian dalam pilkada atau pemilu yang kini menjadi fenomena baru di Indonesia adalah jajak pendapat (polling). Lalu, sebenarnya apa yang dimaksud dengan jajak pendapat? Sebelum memberi penjelasan tentang jajak pendapat. Pertama kita harus membedakannya dengan survey. Dua istilah ini belakangan banyak yang mempertukarkannya, meski pada dasarnya mempunyai perbedaan yang sangat esensial.

Jajak pendapat atau polling merupakan riset yang dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran sikap khalayak terhadap masalah tertentu. Hampir mirip dengan survey. Namun, yang membedakannya jajak pendapat hanya memfokuskan pada satu isyu, sedangkan survey merangkum banyak isyu. Jika dikaitkan dengan fenomena politik seperti pemilu dan pilkada, maka bermunculan lah hasil jajak pendapat tentang popularitas partai maupun figure tertentu. Praktik seperti ini sebenarnya sudah popular di amerika dalam satu decade terakhir, dan 4 tahun belakangan telah diadopsi di Indonesia.

Sudah barang tentu jajak pendapat tidak mungkin dilaksanakan oleh sembarang institusi atau kelompok. Jajak pendapat biasanya dilakukan oleh lembaga survey, bisa juga dilakukan oleh media tertentu. Kini yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, kepada siapakah sebenarnya lembaga-lembaga survey mendedikasikan kerjanya? Benarkah lembaga survey merupakan institusi yang otonom dan bebas dari kepentingan politik tertentu? Sehingga hasil riset mereka dapat sepenuhnya dipertanggung jawabkan terhadap publik.

Yang jelas, dalam melaksanakan risetnya, seorang peneliti tidak diperkenankan sedikit pun memasukkan unsur subyektivitas. Pertany. aan inilah yang hingga kini belum bisa dijawab secara logis. Hanya lembaga survey yang tahu, tujuan dibalik riset yang mereka jalankan.

Meskipun demikian, saya merupakan orang yang sangat skeptic dengan hasil-hasil jajak pendapat lembaga survey. Apa pasal? Setidaknya dengan kemunculan angka-angka dari lembaga survey tersebut, secara tidak langsung berdampak pada banyak pihak. Pada partai atau figure tertentu misalnya, bila mereka dinilai sebagai pihak yang tidak populis. Tentu akan muncul respon yang beragam. Ada yang memilih menghamburkan uangnya dengan menggenjot slot iklan dan sarana promosi lainnya. Ada pula yang menanggapi dengan dingin persoalan tersebut. Dampak yang dihasilkan? Tidak lain jasa lembaga survery yang biasanya menawarkan diri sebagai konsultan politik, mendadak menjadi laris manis.

Dalam kasus lain, dengan munculnya data hasil jajak pendapat, biasanya turut memberi referensi pada voters yang awalnya belum menentukan pilihan. mereka mendadak ikut-ikutan mulai menentukan pilihan pada pihak (partai maupun figure) yang mendapat penilaian tinggi dalam jajak pendapat. Jika demikian adanya, dapat dinilai rasional kah mereka dalam memilih? Lalu siapa yang sebenarnya diuntungkan dengan kondisi seperti ini?

Memang sulit menguak kebenaran dalam kondisi seperti ini. yang jelas, saya akan menjadi pihak yang mencoba tidak mudah diperdaya dengan hasil jajak pendapat. Lalu, bagaimanakah sikap anda?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009