Teori Moral dalam Interaksi Sosial

Sebagai makhluk social, manusia diyakini tidak dapat sendiri. Manusia merupakan bagian dari kelompok komunal yang membutuhkan uluran tangan orang lain. Dalam menjani interaksi dengan lingkungannya, sudah barang tentu tiap kelompok mempunyai kaidah-kaidah agar interaksi diantara mereka dapat berjalan dengan baik. Etika dan moral, dua hal ini sering dijadikan alat ukur untuk mengukur kepantasan perilaku yang dilakukan seseorang. mana yang dianggap pantas, dan mana yang dianggap tidak pantas. Mana yang dianggap baik, dan mana yang dianggap buruk. Semuanya berkaitan dengan ukuran-ukuran normatif yang berlaku dimasyarakat tertentu.

Bila etika meliputi semua tindak tanduk pribadi dan social yang dapat diterima mulai dari tata aturan, norma sopan-santun yang menjadi acuan kita dalam bersosialisasi. Maka, moral mempunyai lingkup yang lebih khusus. Pada dasarnya, moral merupakan bagian dari hukum etika. Moralitas memiliki kedudukan untuk menilai keseriusan pelanggaran yang telah dilakukan. Semisal orang yang tidak menepati janji dikatakan orang yang tidak “etis”, namun tidak bermoral. Sedangkan orang yang menganiaya anak-anak dikatakan tidak bermoral (berdasarkan pada keseriusan pelanggaran yang dilakukan)

Dalam memetakan lebih lanjut tentang hokum moral, para ahli telah menunjukkan beberapa ciri khusus. Ciri tersebut diantaranya :

  1. Hukum moral sangat penting

Dikatakan sangat penting karena moral berkaitan dengan keseriusan pelanggaran yang dilakukan seseorang. oleh karena itu, seseorang hendaknya dapat mematuhi tata aturan, norma-norma sehingga tidak menimbulkan pelanggaran yang biasanya berbasis pada nilai budaya.

  1. Moralitas terdiri dari hukum-hukum universal

Moralitas diatur oleh hukum. Moralitas memberikan kita kepastian pada hal-hal yang seharusnya kita lakukan dan apa yang tidak boleh kita lakukan. Dari sini jelas bahwa moral tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang pantas dilakukan. Namun, juga meliputi hukum-hukum yang selayaknya ditaati oleh individu.

  1. Hukum-hukum moral adalah rasional dan objektif

Ada alasan-alasan mengapa mengapa kita bertindak secara moral, misalnya “karena itu kewajiban saya”. Moralitas disebut rasional karena sesungguhnya ketika seseorang melakukan tindakan moral maka dia melaksanakan tindakan tanpa pamrih dan tidak memihak (netral). Hukum moral berlaku pada setiap orang tanpa memandang jabatan dan kekuasaan. Oleh karena itu hukum moral bersifat objektif. Semisal orang yang berhutang, maka siapapun orangnya diwajibkan untuk membayar hutang tanpa memandang kedudukan seseorang.

  1. Hukum moral menyangkut orang lain

Bagaimanapun rumusannya, moralitas bertentangan dengan keegoisan. Moralitas dapat berarti rasa hormat pada hukum atau rasa “kewajiban demi kewajiban”. Bisa juga berarti kasihan, atau rasa sayang, atau rasa cinta terhadap orang lain. Tetapi pada hakekatnya, hukum moral selalu meliputi kepentingan orang lain daripada kepentingan sendiri. Ada sebuah ucapan Nabi Muhammad, “Janganlah kamu berbuat buruk terhadap orang lain, jika hal itu tidak ingin terjadi padamu”. Memaknai ucapan tersebut, maka kita dituntut untuk memahami konteks dari masalah berkaca pada diri kita sendiri. Contoh : bila kita tidak ingin piutang kita tidak dibayar oleh orang lain, maka jika kita berhutang kita harus membayarnya.

Moralitas dan relativisme

Setelah mengetahui ciri dari moralitas. Tentunya kita akan berpikir tentang relativisme dari moral itu sendiri. Sebelum membahas tentang relativisme moral, ada baiknya bila kita memahami tentang pernyataan deskriptif dan preskriptif. Yang dimaksud pernyataan deskriptif adalah pernyataan yang menyatakan kenyataan apa adanya. Sedangkan pernyataan perskriptif menyatakan bagaimana seharusnya.

Etika yang didalamnya terkandung teori moral, bukan ilmu yang bersifat deskriptif. Tetapi lebih dari itu merupakan keterlibatan secara aktif dalam seperangkat nilai-nilai dan pandangan hidup. Hukum-hukum moral lebih dari sekadar hukum adat-istiadat dan kebiasaan (mores). Hukum moral merupakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh setiap masyarakat manapun, berlaku bagi siapa saja dan dimana saja. Hal ini menunjukkan bahwa hukum moral selalu bersifat universal. Semisal ketika kita berbicara apakah mencontek dan menjiplak merupakan perbuatan yang dapat dibenarkan oleh akal sehat, maka setiap orang di lingkungan akademisi akan menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang terlarang. Mengapa dikatakan terlarang, dikarenakan ketika kita melakukan hal tersebut maka sama saja melecehkan nilai-nilai kreatifitas dan bersaing sehat dalam lingkungan akademis.

Kini yang menjadi permasalahannya adalah, apakah kemajemukan yang terdapat dalam masyarakat akan menimbulkan standar moral yang berbeda pula? Hal inilah yang selalu dipermasalahkan oleh filsuf etika dan moral. Kebanyakan filsuf etika dan moral menginginkan adanya standar universal yang digunakan oleh setiap masyarakat.

Menghadapi masalah ini, kebanyakan filsuf etika dan moral memilih untuk membatasi perhatian mereka pada hukum moral yang berlaku di masyarakat mereka sendiri tanpa memberi penilaian terhadap masyarakat lain. Selain itu, ada pula yang memberikan pembatasan bahwa yang dimaksud universalitas moral berkaitan kewaiban bagi tiap pihak untuk mematuhinya.

Komentar

Anonim mengatakan…
Blora, aku datang menyapamu. Salam ya

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009