Media dan Politik, Menyoal Independensi Media

Dalam menjalankan fungsinya, media dapat dilihat dalam tiga perspektif. Tiga perspektif tersebut yakni, perspektif ekonomi, perspektif sosiologis, dan perspektif politik. Perspektif ekonomi menyatakan bahwa media merupakan institusi yang dapat diposisikan sebagai alat untuk meraih keuntungan. Media diibaratkan sebagai barang dagangan oleh pemiliknya. Perspektif kedua, yakni perspektif sosiologis menyatakan bahwa media merupakan sebuah institusi yang berperan sebagai agen social. Croteau dan Hoynes menyatakan sebagai berikut :

“ The media play a crucial role in almost all aspects of daily life. However, their influence is not limited to what we know. The sociological significance of media extends beyond the content of media messages. Media also affect how we learn about out world and interact with one another. That is, mass media are bound up with the process of social life ”(dalam PKMBP, 2005 :5).

Dari pendapat Croteau dan Hoynes diatas dapat disimpulkan bahwa media mempunyai peran yang sangat signifikan dalam membentuk pola pikir manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Media dijadikan sebagai salah satu referensi utama yang dapat mempengaruhi perilaku tiap individu.

Sedangkan perspektif politik, menyatakan bahwa media merupakan institusi yang menyajikan informasi dengan membawa ideologi tertentu. Setiap pesan yang dikonstruksi media pastinya mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dalam konteks yang lebih luas media diibaratkan sebagai pihak yang mampu menjadi oposan bagi pemerintah.

Media dan Politik di Indonesia

Sepuluh tahun sudah bangsa ini lepas dari jeratan orde baru. Dimulainya era reformasi menandai beralihnya iklim politik dari yang dulunya menganut otoritarianisme ke demokrasi. Satu dasawarsa tentu bukan waktu yang bisa dikatakan sebentar. Dalam rentan waktu tersebut bangsa ini telah berjuang. Berjuang untuk menciptakan iklim demokrasi. Dalam relasinya dengan media, tentunya kita semua berpikir, berada dalam posisi manakah media dalam mengawal perubahan ini? Apakah media sudah turut berkontribusi dalam membentuk iklim demokrasi yang sebenarnya?

Ada dua indikasi yang dapat menjawab itu semua yakni, independensi media dan terciptanya ruang public (public sphere). Mengapa dua hal tersebut ? independensi selalu berkaitan erat dengan kebebasan pers, sedangkan ruang public menjadi barometer sejauh mana partisipasi public dalam ranah politik melalui media.

Independensi bisa dikatakan momok bagi media masa kini. Sebagai institusi ekonomi, tidak dapat dipungkiri media menjadi alat bagi pemodal untuk meraih untuk yang maksimal. Ketika media ditempatkan sebagai barang dagangan, bisa jadi media lebih mengutamakan kepentingan profit daripada memenuhi hak-hak public. Kepentingan public bisa saja ditempatkan pada level subordinat yang tidak mendapatkan perhatian serius dari institusi media.

Selain itu, isu kepemilikan (ownership) merupakan masalah besar yang hingga kini masih belum terpecahkan. Sudah menjadi rahasia umum bila factor kepemilikan dapat mewarnai konten yang ditampilkan oleh media massa. Di Indonesia saja misalnya, semua orang dapat menilai keberpihakan ANTV dalam merekonstruksi berita tentang lumpur Lapindo. Kepemilikan Aburizal Bakrie di ANTV membuat dewan redaksi mereka memilih menggunakan kata lumpur Sidoarjo, daripada menyebutnya dengan lumpur lapindo. Sedangkan Metro TV secara implisit memberi porsi lebih terhadap Surya Paloh dalam kaitannya dengan konstruksi pesan politik terhadap khalayak. Momen hajatan besar Pemilu 2009 dimanfaatkan betul oleh Surya Paloh untuk mengekspos Partai Beringin dimana Paloh menjadi Dewan Penasihat.

Perihal ruang public

sejak kaum borjuis di abad pencerahan melakukan perbincangan di kedai-kedai kopi. Maka saat itulah cikal-bakal dari pembentukan ruang public dimulai. Kaum borjuis dari yang awalnya hanya berbicara mengenai masalah bisnis, pada fase berikutnya melebar pada masalah social kemasyarakatan[1].

Kini, dalam kaitannya dengan kajian media massa. Ruang public dapat menjadi tolak ukur dari terlaksananya demokrasi dalam ranah media itu sendiri. bila berbicara mengenai ruang public, pastilah akan berkaitan erat dengan partisipasi publik dalam ruang public. Yang dapat dibayangkan dalam konsep ruang public adalah ketika setiap individu mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat berpartisipasi dalam diskusi public.

Saat ini, yang menjadi pertanyaan besarnya adalah apakah di Indonesia sudah terbentuk ruang public dalam ranah media? Bila melihat kondisi kekinian yang terdapat di media kita. Tentunya hal itu belum terwujud. Meskipun media telah menyediakan ruang-ruang bagi public untuk turut berpartisipasi dalam diskusi public. Toh, media pula lah yang berhak menentukan siapa saja yang berhak di tampilkan ke khalayak. Bila kondisi yang demikian terjadi, berarti pada hakikatnya tidak semua orang mempunyai kesempatan yang sama.

Ada satu hal yang menjadi penghambat tidak semua orang dapat “urun” dalam diskusi tersebut, Yakni Ideologi yang dianut oleh media. Media tentunya akan menampilkan orang-orang yang setidaknya mempunyai cara pandang yang sama dalam menyikapi suatu persoalan. Sekali lagi kita harus menyadari bahwa tidak ada media yang netral. Yang ada media yang berpihak. Berpihak pada siapa? Hanya institusi media sendiri yang dapat menjawabnya. Ya, akankah ruang public itu hanya menjadi suatu keniscayaan. Hanya waktu yang dapat menjawabnya.



[1] Juergen Habermas. 2008. Ruang Publik : Sebuah Kajian tentang masyarakat Borjuis. (terj.) hal. 22. Penerbit Kreasi wacana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009