Inikah yang dinamakan Liga Super ?

Di awal musim sebelum bergulirnya liga Indonesia. Kita semua mulai diyakinkan oleh PSSI akan mendapat tontonan liga domestik yang berkualitas. PSSI dengan BLI-nya menjadikan Liga Super sebagai dagangan utama untuk kembali menarik kepercayaan publik. Kini, belum genap paruh musim dilewati, optimisme yang sempat mengembang telah berubah menjadi pesimisme.

Harapan untuk dapat menyaksikan suasana liga yang kompetitif seakan menghilang tanpa bekas. Kita semua lagi-lagi “harus” menyaksikan tontonan layaknya liga ditahun-tahun sebelumnya. Pertunjukan yang sarat dengan anarkisme di dalam dan luar lapangan serta rentetan masalah finansial yang menimpa klub-klub peserta liga.

Semua orang di negeri kini semakin paham bahwa Liga Indonesia merupakan satu-satunya liga sepakbola di dunia yang “mampu” memadukan beragam cabang olahraga. Selain terdapat sajian sepakbola, kita juga bisa menyaksikan cabang tinju, karate, pencak silat, bahkan menembak turut eksis dipagelaran Liga Indonesia. Alangkah menyedihkannya liga kita tercinta jika hal ini terus berlanjut.

Menyaksikan Liga Super Indonesia, kita semua patut turut prihatin. Liga yang telah menghabiskan ratusan milliar tiap tahunnya ini, tidak dapat dikelola secara professional. Meski jargon liga professional terus didengungkan oleh PSSI, nyatanya liga ini masih terlihat sebagai liga amatir dalam balutan professional.

Penundaan jadwal liga akibat maraknya kerusuhan suporter, serta bermunculannya klub-klub musafir dikarenakan tidak memiliki homebase yang layak pakai adalah beberapa contoh kecil diantara berbagai masalah di liga ini. Jika demikian realitanya, pantaskah liga ini disebut Liga Super?

Tanggung jawab semua pihak

Menyikapi pelbagai rentetan masalah yang menyertai keberlangsungan Liga Super Indonesia. Sudah sepantasnya bila semua pihak yang terlibat di dalamnya melakukan instropeksi diri. Sebagai seorang penonton, Kita semua sudah lelah menyaksikan setiap pihak selalu mencari-cari kesalahan pihak tertentu. Bukan saatnya lagi mencari kambing hitam, karena pada dasarnya masalah ini merupakan kesalahan yang bersifat kolektif.

PSSI telah gagal menunjukkan pada masyarakat jika mereka mampu mengelola liga ini lebih professional. Borok yang demikian nyata dari induk organisasi sepakbola nasional ini sudah begitu parahnya. Dosa-dosa yang dilakukan pengurus PSSI sudah tidak dapat ditoleransi lagi. Toh, nyatanya PSSI tidak pernah belajar dari kesalahan di masa lampau. Rakyat di negeri ini sudah jenuh menyaksikan buruknya manajemen orang-orang PSSI dalam mengelola sepakbola nasional.

Bagaimana mungkin orang-orang yang telah gagal membentuk kepengurusan PSSI yang capable, diberi mandat mengelola Liga Super ? sungguh memalukan menyaksikan Indonesia menjadi Negara satu-satunya di dunia, yang induk organisasi sepakbolanya dipimpin orang dari balik terali besi. Jika memang pengurus PSSI masih mempunyai etika, tentunya hal tersebut tidak akan dibiarkan terjadi.

Maka tidak mengherankan jika perangkat yang berada dalam naungan PSSI pun tidak bekerja sebagaimana mestinya. Kasus Komisi disiplin vs Komisi Banding dan masih rendahnya kualitas korps perwasitan merupakan bukti nyata yang tidak terbantahkan.

Pun demikian dengan klub peserta liga super. Pantaskah mereka semua disebut klub professional jika untuk menghidupi diri sendiri masih mengemis pada dana APBD? Sungguh menganehkan bila klub yang diawal musim meraih rapor A atau B dari segi keuangan oleh BLI, ditengah berjalannya kompetisi harus kelimpungan mencari sumber dana.

Tim sekelas Persik, Persija dan PSM harus mengutang di sana-sini untuk sekadar bertahan hidup. Nasib mengenaskan justru sedang mengancam Persik, yang berencana menjual beberapa pilarnya untuk menutup pengeluaran yang semakin membengkak.

Lalu, bagaimana dengan kabar supporter kita yang terhormat? Sayang seribu sayang, fanatisme berlebihan supporter Indonesia belum bisa diarahkan ke sisi yang positif. Supporter Indonesia masih menunjukkan perilaku yang tidak sepantasnya ditunjukkan di kompetisi yang sedang berjuang meraih kembali martabatnya.

Anarkisme di dalam dan luar lapangan menjadi hal yang lumrah terjadi. Mungkin mereka semua belum bisa berpikir jernih, dampak kerusakan yang diakibatkan oleh ulah mereka dapat merugikan berbagai pihak. Jika hal demikian terus-menerus terjadi, dimanakah peran dari organisasi kelompok supporter?

Ya, kini saatnya bagi semua pihak untuk memperbaiki kesalahan yang sudah terjadi. Liga ini butuh orang-orang yang benar-benar berkomitmen dengan tulus untuk memajukan sepakbola Indonesia. Jauhkan sepakbola nasional dari kepentingan kelompok tertentu, karena bukan tempatnya mencari keuntungan di kancah sepakbola nasional. Semoga bangsa ini bisa belajar dari kesalahan dimasa lampau.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009