Ramadhan dan Tayangan Televisi

Dalam konsep komunikasi massa, media berpotensi memberi pengaruh besar terhadap khalayak. Baik media cetak dan elektronik (penyiaran), keduanya mempunyai kemampuan untuk membentuk pola pikir khalayak, keduanya dapat mengarahkan khalayak pada isu tertentu yang dianggap penting. Lebih jauh, media juga dapat mempengaruhi pola perilaku dari khalayak. Meskipun demikian, tipologi yang disebut terakhirlah yakni media penyiaran (terutama televisi) yang mempunyai kemampuan lebih besar untuk mempengaruhi khalayak dibanding jenis media yang lain.

Apa pasal? ada beberapa hal yang dapat menjelaskannya. Pertama, media penyiaran mempunyai karakter yang khas dibanding jenis media lain, yakni kemampuan penetrasi yang melebihi media lain. Televisi misalnya, kotak ajaib ini telah menjadi hiburan paling murah dari setiap khalayak masa kini. Untuk menikmati tayangan televisi, kita tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun (kecuali TV ber bayar). Cukup membeli sebuah pesawat televisi, kita dapat menikmati beraneka macam siaran dan informasi dari seluruh penjuru dunia yang ditawarkan oleh masing-masing stasiun televisi. Berbeda dengan media cetak, untuk mengaksesnya –paling tidak sampai saat ini- kita masih harus mengeluarkan uang sebagai balas jasa informasinya.

Kedua,pesan televisi lebih mudah dicerna oleh khalayak. Dengan visualisasi pesan yang disampaikannya, televisi mampu menanamkan kesan mendalam pada memori khalayak. Memahami rangkaian pesan dari media penyiaran, tentunya tidak sesulit memahami rangkaian teks dari media cetak. Setidaknya, untuk memahami teks-teks informasi tersebut, dibutuhkan kemampuan membaca dan memaknai pesan.

Ketiga, intensitas terpaan informasi yang relatif besar. Dalam sehari terdapat 24 jam. Dalam rentan waktu itu, televisi selalu menemani kebutuhan informasi dari khalayak. Hal ini karena televisi mempunyai waktu edar yang sangat lama. Paling tidak tiap stasiun televisi nasional mengudara selama 20 jam tiap harinya. Mulai dari bangun tidur, hingga menjelang tidur, kesempatan untuk mengakses televisi dapat dilakukan kapan pun, sesukanya. Terpaan informasi dari khalayak bisa semakin intens, bila dalam sebuah rumah tangga mempunyai lebih dari sebuah televisi.

Perhatikan penempatan televisi!. Televisi biasanya ditempatkan di ruang keluarga, tempat dimana setiap anggota keluarga berkumpul bersama dan bercengkerama. Untuk sekadar berkumpul bersama pun secara tidak sadar kita telah ditemani televisi! Lalu, bagaimana jadinya bila tiap ruangan tersedia televisi. Berapa pesan yang secara tidak sadar dikonsumsi oleh tiap individu ? hanya kita sendiri yang dapat menjawabnya.

Karakteristik media penyiaran

Melihat potensi pengaruh dari media penyiaran yang begitu besar. Sudah barang tentu, treatment terhadap pengelolaan media yang satu ini juga berbeda. Untuk mendirikan media cetak tidak diperlukan lagi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), layaknya yang terjadi di era orde baru. Tiap orang tidak dibatasi kaitannya dengan kepemilikan media cetak. Satu, tiga, bahkan seratus usaha penerbitan pers pun, boleh dimiliki oleh satu orang yang sama. Berbeda dengan usaha media penyiaran, yang membatasi seseorang dalam masalah kepemilikan (pasal 18, UU no.32 tahun 2002 tentang penyiaran) Hal ini dikarenakan media penyiaran menggunakan ruang publik bernama frekuensi.

The Scarcity theory mengungkapkan bahwa pada hakekatnya jumlah frekuensi yang ada di muka bumi ini terbatas. Oleh karena itu, tidak semua individu dapat menggunakannya. Meskipun demikian, pada dasarnya kita memiliki hak yang sama untuk memanfaatkannya. Penentuan siapa yang boleh mengelola sebuah frekuensi menjadi penting karena logika yang berlawanan tersebut.

Reproduksi tayangan ramadhan

Setengah bulan sudah ramadhan menyapa kita. Lalu, bagaimana kabar tayangan televisi kita ? seperti biasa, sebagai penonton yang menginginkan diversifikasi dan tayangan yang berkualitas. Kita harus gigit jari. Televisi “masih” mengikuti tren lama, ramai-ramai menampilkan tayangan seragam. Seragam dalam hal kemasan dan tampilannya.

Setiap stasiun televisi mulai memenuhi tayangannya dengan program-program islami (sok islami). Parahnya lagi, setiap acara terkesan dipaksakan mendadak islami. Acara komedi disebut komedi islami, acara musik disebut musik islami, dan yang paling menyebalkan tidak lain tidak bukan adalah sinetron islami.

Di bulan ramadhan ini, stasiun televisi “menjadikan” tayangan komedi dan sinetron sebagai mesin uang meraka. Perhatikan saja, hampir tiap stasiun televisi menampilkan sinetron islami di sesi prime time (berdekatan dengan waktu buka puasa). Sedangkan untuk sahur, kita “dipaksa” untuk menikmati pelbagai tayangan komedi.

Entah logika apa yang dipakai oleh stasiun televisi, sehingga dua acara ini menjadi sajian favorit di bulan ramadhan. Yang pasti, dilihat dari segi kualitas dan tingkat kebutuhan informasi khalayak, kedua tayangan ini dapat dikatakan tidak semestinya (baca:tidak layak) membanjiri tayangan televisi.

Apakah layak sinetron yang dikerjakan serba instan tanpa memperhatikan unsur sinematogafri ditampilkan di stasiun televisi yang disaksikan jutaan orang di negeri ini ? apakah layak sinetron yang mengandung unsur kekerasan, kebencian, dan sifat-sifat tak terpuji lainnya ditampilkan di bulan ramadhan? lebih jauh lagi, apakah layak disaat sahur ketika sebagian besar umat muslim lebih membutuhkan siraman rohani, justru disuguhi tayangan komedi yang sarat dengan cacian pada lawan mainnya ? benarkah tayangan seperti ini yang dibutuhkan khalayak kita?

Ideologi rating

Rating, itulah momok bagi tayangan televisi di Indonesia. Seandainya saja setiap stasiun televisi tidak menggunakan standar rating sebagai acuan programming tayangan mereka. Pastinya tidak akan terjadi tayangan yang seragam di tiap stasiun televisi, tidak akan kita jumpai membanjirnya tayangan yang tidak berkualitas. Stasiun televisi masih memilih langkah aman, menjadikan kumpulan angka-angka rating sebagai alat dagangan pada pengiklan. Ketika salah satu stasiun televisi sukses dengan program tertentu, dapat dilihat dalam beberapa waktu berikutnya terjadi duplikasi tayangan di stasiun televisi yang berbeda. Logika pasar pun bermain, keberhasilan format tayangan tertentu dijadikan stasiun televisi untuk “memikat hati” para pengiklan.

Bila sudah begini, sudah selayaknya diadakan musuh tandingan bagi rating. Lembaga-lembaga independen jika perlu memberi “penghargaan” terhadap tayangan-tayangan yang tidak berkualitas. Saya yakin, setidaknya hal ini dapat memberi terapi pada stasiun televisi untuk di waktu yang akan datang mau dan mampu menawarkan tayangan yang bermanfaat dan edukatif pada khalayak. Tidak hanya mencari keuntungan semata seperti yang terjadi selama ini. Selain itu, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) harus lebih berani memberikan kritikan dan masukan pada stasiun televisi. sebagai lembaga moral tayangan televisi. sudah selayaknya KPI menunjukkan dirinya mewakili kepentingan dari khalayak. Semoga disisa ramadhan, kita mendapat manfaat dari tayangan televisi yang sudah ada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009