Ketika Rokok dinyatakan Haram

Dilarang merokok di tempat umum, mungkin sebagian dari kita sudah pernah mendengarnya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pernah menerbitkan aturan dalam bentuk Perda No.75 tahun 2005. Meskipun pada akhirnya, aturan ini lemah dalam tahap implementasi (terbukti banyak terjadi pelanggaran dan tidak ada bentuk penindakan tegas terhadap pelanggarnya). Namun, jika untuk mengisap sebatang puntung rokok pun tidak diperbolehkan. Bagi anda semua penikmat rokok, hal ini tentu terasa mengejutkan. Institusi bernama MUI berencana mengeluarkan fatwa haram terhadap barang yang ini. Ya, jika akhirnya benar-benar dirilis, bagi seluruh muslimin di Indonesia. Dengarkan dengan baik-baik, rokok dinyatakan Haram!

Menilik momen dikeluarkannya fatwa dari MUI, tentunya menarik untuk diperhatikan. Ketika industri rokok telah menjelma menjadi penopang perekonomian tanah air dan tidak pernah terusik keberadaannya. Bak petir disiang bolong, rencana keluarnya fatwa Haram dari MUI telah mengundang reaksi dari berbagai pihak, baik yang pro atau pun dari pihak yang kontra. Dari pihak yang pro, fatwa ini dinilai sebagai langkah positif untuk mengendalikan konsumsi rokok yang seakan tidak terkontrol. Sedangkan dari pihak yang kontra, fatwa ini dinilai dapat mengguncang perekonomian dimana industri rokok telah berkontribusi besar, baik dari segi penyerapan tenaga kerja hingga kontribusi dalam bentuk cukai yang jumlahnya mencapai puluhan triliun. Cukai rokok berpotensi memberi tambahan pendapatan Negara sebesar Rp. 50,1 triliun, dengan asumsi kenaikan cukai mencapai 57 % (Kompas, 31 Juli 2008).

Indonesia, surga industri rokok

Tidak dapat dipungkiri, berkembang besarnya industri rokok hingga saat ini menjadi penopang dari perekonomian nasional tidak dapat dipisahkan dari peran pemerintah selaku penentu arah kebijakan. Secara tidak sadar pemerintah telah membiarkan masalah ini mengalir begitu saja, tanpa adanya aturan yang jelas untuk mengendalikan perkembangan rokok. Pemerintahan SBY terbilang lamban dan terkesan mendukung industri rokok. Terbukti dengan mentoknya upaya legislasi di DPR.

Jika ditilik kebelakang, keengganan pemerintah menangani masalah ini sebenarnya sudah terlihat ketika pemerintah tidak meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) yang disusun oleh WHO pada tahun 2003 lalu. FCTC merupakan perjanjian keseharan masyarakat yang isinya mengupayakan adanya pengendalian industri rokok dengan bertujuan untuk menyelamatkan generasi kini dan mendatang dari bahaya mengonsumsi rokok.

Setiap Negara yang meratifikasi draf ini, nantinya diminta kesediaannya untuk menuangkanya dalam bentuk UU. Namun, hingga batas waktu yang ditentukan, Indonesia tetap memilih untuk tidak meratifikasi FCTC dan menjadi satu-satunya Negara asia-pasifik yang tidak meratifikasi draf tersebut. Anehnya lagi, pemerintah justru turut berkontribusi dalam pembuatan draf tersebut!

Dampaknya kini dapat kita saksikan sendiri, Industri rokok semakin berkembang dengan pesat. Industri rokok menjadi lahan subur untuk berinvestasi. Seorang Philip Moris yang melihat pangsa pasar yang luar biasa, akhirnya mengakuisisi Sampoerna, salah satu produsen rokok terbesar di tanah air.

Upaya menghambat laju pertumbuhan konsumsi rokok seakan sia-sia. Kampanye bahaya akibat merokok kalah bersaing dengan promosi iklan perusahaan rokok yang terlihat jor-joran dalam belanja iklan. Biro iklan terbilang “sukses” memberi imej rokok sebagai bagian dari gaya hidup maskulin anak muda. Dampak yang dihasilkan pun luar biasa. Meski cukai terus digenjot yang berdampak pada semakin mahalnya rokok, Jumlah perokok justru semakin bertambah. Saat ini, Indonesia merupakan konsumen terbesar rokok terbesar kelima di dunia setelah China, India, AS, dan Rusia.

Hal ini semakin diperparah dengan tidak adanya perlindungan konkret pemerintah terhadap anak-anak. Akibatnya, jumlah perokok pemula dari tahun ke tahun terus bertambah. Selain itu, keterlibatan perusahaan rokok dengan panji CSR-nya (Coorporate Social Responsibility) dalam berbagai kegiatan sosial telah membuat silau khalayak umum.

Fatwa Haram MUI, Solusikah ?

Melihat keengganan pemerintah untuk memberi perlindungan pada konsumen dalam bentuk UU, bila nantinya Fatwa Haram dari MUI benar-benar keluar. Nampaknya dapat memberi dampak positif dalam upaya memerangi perkembangan rokok yang tidak terkontrol. Dengan populasi masyarakat yang sebagian besar beragama islam, fatwa ini dapat memberi masukan pada khalayak umum tentang bahaya merokok yang selama ini selalu terlupakan.

Belajar dari pengalaman ketika DPR akhirnya memasukkan larangan aborsi pada UU Kesehatan setelah keluar fatwa dari MUI. Semoga pemerintah juga lebih serius menangani masalah ini setelah hadir fatwa haram dari MUI tentang rokok. Akhirnya, jika pemerintah benar-benar berkomitmen menyelamatkan generasi yang akan datang. Adanya UU tentang pembatasan rokok mutlak dibutuhkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009