Dari Euro Hingga Keseragaman Konten

Sejak runtuhnya era orde baru dan digantikan dengan era reformasi, ekspektasi besar akan hadirnya iklim demokrasi dalam industri media semakin menggeliat. Bila di era Soeharto, media ditempatkan pada titik subordinat penguasa, kini ada keinginan besar untuk menjadikan media bebas dari segala intervensi penguasa.

Keinginan tersebut nampaknya akan terwujud dengan hadirnya pelbagai UU tentang media. UU tersebut lahir sebagai tuntutan adanya demokratisasi di bidang media. Bila UU no.40 lahir sebagai respon dari keresahan di bidang Pers, maka UU no.32 tahun 2002 tentang penyiaran seakan memberi harapan baru adanya penyiaran yang demokratis. Khusus bagi media penyiaran, hal ini menjadi sangat penting mengingat media penyiaran mempunyai karakteristik tersendiri di banding media lain, yakni menggunakan frekuensi yang pada hakikatnya merupakan milik rakyat.

media penyiaran memang unik. Untuk mengonsumsinya tidak diperlukan mengeluarkan uang. Namun, dengan frekuensi yang digunakannya hal ini dirasa merupakan harga yang setimpal. Untuk lebih memahami karakteristik media penyiaran, dengarlah yang diungkapkan oleh Joseph R. Dominick. Pada hakekatnya ada dua teori penting yang dapat digunakan untuk membahas penyiaran, yaitu :

· The scarcity theory, teori ini mengungkapkan bahwa pada hakekatnya jumlah frekuensi yang ada di muka bumi ini terbatas. Oleh karena itu, tidak semua individu dapat menggunakannya. Meskipun demikian, pada dasarnya kita memiliki hak yang sama untuk memanfaatkannya. Penentuan siapa yang boleh mengelola sebuah frekuensi menjadi penting karena logika yang berlawanan tersebut.

· The pervasive presence theory, teori ini mengungkapkan bahwa media penyiaran mempunyai pengaruh yang besar dengan variasi-variasi pesan yang dimilikinya. Dengan penetrasi yang besar bahkan menembus pada wilayah probadi, perlu diaturlah agar semua kepentingan masyarakat dapat terlindungi dan terwadahi.

Inti dari dua teori ini adalah kepemilikan dan pengelolaan media penyiaran tidak boleh diberikan kepada sembarang pihak. Jangan sampai terjadi dominasi kelompok tertentu dalam media penyiaran. Mengapa ? karena bila terjadi dominasi oleh kelompok tertentu dikhawatirkan akan terjadi keseragaman konten sehingga hadirlah iklim media yang tidak demokratis.


Media penyiaran di Indonesia

Kini pertanyaan besarnya adalah, dalam rentan 6 tahun imlementasi UU penyiaran apakah sudah berhasil memberikan iklim penyiaran yang demokratis dengan adanya diversifikasi konten? melihat fakta yang ada, nampaknya khalayak harus gigit jari. Terlalu banyak pelanggaran yang dilakukan oleh media penyiaran khususnya masalah kepemilikan televisi.

Misalnya berkaitan dengan peraturan LPS (lembaga penyiaran swasta) hanya dapat menyelenggarakan 1 saluran siaran pada 1 cakupan wilayah siaran, realitanya kita dapat menyaksikan MNC, Transcorp masih berjaya dengan koglomerasi yang mereka miliki. lalu berkaitan dengan masalah pembatasan kepemilikan silang, lagi-lagi kita dapat menyaksikan saat ini kita dapat meyaksikan MNC yang mempunyai 3 stasiun televisi masih belum puas masih melebarkan sayap binisnya di radio-radio. Dengan kenyataan seperti ini, dimanakah letak pembatasan kepemilikan media penyiaran tersebut?

Euro kali ini memang dapat dijadikan cerminan, keseragaman konten dapat kita saksikan di 3 stasiun televisi MNC. Pagi, siang dan malam pertandingan diulang-ulang. Seluruh berita pun juga diulang di 3 televisi dengan konten yang sama. Beruntunglah karen acara ini sangat digandrungi oleh banyak khalayak, pun demikian dengan saya. Namun, dengan analogi yang sama bagaimana jika jenis produk lain disiarkan di 3 stasiun televisi berbeda ? pasti kita akan muak melihatnya.

Sebab dari keseragaman konten itu jelas, ideologi penyiaran kita adalah rating! Irwan Hendarmin, Project Leader Euro MNC pun mengakuinya, dengan melaksanakan serbuan penyiaran model Piala Eropa dapat mengangkat rating 3 stasiun televisi tersebut. Bila rating sudah didapat, praktis belanja iklan di televisi tersebut akan meroket dengan cepat.

Lagi-lagi kita dihadapkan dengan realitas rating menjadi momok yang mengerikan. Sekali ada jenis acara yang meroket, maka duplikasi di stasiun televisi lain akan cepat terjadi. Institusi media di tanah air seakan tidak berani mengambil resiko dengan menayangkan program-program yang lebih kreatif, mengingat acara yang sudah mempunyai rating tersebut dengan sendirinya dapat mendatangkan iklan dengan sendirinya. Bila anda bertanya pada saya, kapan terjadi demokratisasi di bidang penyiaran ? melihat kondisi saat ini, saya pun tidak berani memberi jawab pada anda.

Komentar

Dino mengatakan…
There is no democracy. There is only money and power. Eventually people will join them no matter what because we cant live if we dont join them.

Postingan populer dari blog ini

Tuhan 9 cm oleh Taufik Ismail

Review Buku : Competitive Advantage. Creating and Sustaining Superior Performance

Wonderkid FM 2009