Tak Ada Tempat Parkir Untukmu

Waktu menunjukkan pukul 9.10. tak ada lagi waktu bersantai untukku. Aku langsung bersiap berangkat kuliah. Pagi itu jam 9.30 aku ada kuliah psikologi komunikasi. Kelas yang tak pernah terlewatkan oleh kebanyakan mahasiswi komunikasi. Maklum, kata mereka sih dosen pengajarnya selain pandai menjelaskan materi, orangnya ganteng pula. Belum sempat aku menjejakkan kaki di kelas psikologi komunikasi, aku sudah direpotkan mencari tempat persinggahan sementara untuk motor kesayanganku. Aku sisir setiap jengkal lahan parkir timur Fisipol. Aku perhatikan dengan seksama apakah ada tempat kosong bagi motorku. Akhirnya, kutemukan juga tempat yang masih longgar. Tepat disebelah selatan mushola FISIPOL. Jam 9.30 memang menjadi jam kuliah paling favorit, selain tidak memaksa diri bangun pagi, udara masih terasa segar. Berbeda saat siang hari, udara terasa panas. Mata menjadi sulit dikontrol. Maunya ngantuk terus.

Pengalaman seperti tadi bukanlah yang pertama bagiku dan mahasiswa Fisipol pada umumnya. Bahkan bisa disebut menjadi rutinitas wajib bila kuliah jam 9.30 ke atas. Semuanya direpotkan pada masalah yang sama, mencari tempat parkir!!!.FISIPOL memang semakin padat. Tidak hanya penghuninya, lebih dari itu kendaraan yang kami bawa juga member efek samping yang harus kami tanggung bersama. Kuantitas mahasiswa yang semakin meroket tidak diimbangi dengan lahan parkir yang cukup.

Perubahan Kultur

Sejak lahirnya PP 153 tahun 2000 tentang perubahan status UGM dari Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara, revolusi besar terjadi di UGM. Perubahan status tersebut berdampak signifikan pada keuangan UGM. UGM diwajibkan memenuhi keuangannya sendiri. Subsidi dari pemerintah disunat habis. Kondisi demikian berakibat melonjaknya biaya kuliah. Stigma hanya mahasiswa berduit yang dapat kuliah di UGM pun mengemuka. Penetapan SPMA (Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik) dan SKS variable layaknya universitas swasta menjadi sebabnya. Sudah barang tentu, hal yang demikian pastinya membuat minder mereka yang sebenarnya mampu bersaing di UGM, namun tidak mempunyai cukup dana untuk melanjutkan kuliah di universitas ini. Selain dari sumber-sumber yang bersifat akademis, kini UGM merintis pusat perbelanjaan buku bertajuk GAMA Book Mall. Penambahan drastis kuota mahasiswa di berbagai jurusan juga dijadikan sebagai alternative lain.

Dampaknya…

Dampak dari melonjaknya biaya tadi dapat dilihat sekarang. Semakin jarang saya menemukan mahasiswa dari kalangan tak berpunya. Kebanyakan temanku di jurusan komunikasi berasal dari kalangan menengah ke atas (the have). Dari kalangan yang berpunya, jelas berangkat ke kampus menggunakan mobil. sedangkan kebanyakan teman yang lain, berangkat menggunakan motor. Saking banyaknya mobil dan motor yang berjejalan di kampus Fisipol, seakan-akan tak ada lagi ruang yang tersisa. Mungkin para perancang tata bangunan zaman dulu tidak pernah berpikir mahasiswa akan meninggalkan budaya jalan kaki dan bersepeda, sehingga lahan parkir dibuat seadanya.

Melarang mahasiswa untuk tidak menggunakan sepeda motor memang tidak mungkin dilaksanakan. Yang lebih esensial dari itu bagi saya batasi saja jumlah mahasiswa untuk tahun ajaran baru. Sudah cukup kekacauan akademik tahun lalu. Jangan sampai jumlah mahasiswa yang semakin bertambah besar tidak dimbangi dengan pelayanan yang memuaskan meski hanya sekadar tempat parkir. Jika tidak, Fisipol memang tidak punya nurani karena selalu megorbankan mahasiswanya tanpa memberi solusi yang baik.